Senin, 22 Desember 2025

Waktu DPR Sehari Lagi 

- Senin, 23 September 2019 | 09:42 WIB
AKSI : Mahasiswa sedang melakukan aksi demo di depan gedung DPR, beberapa waktu lalu. FOTO : ISTIMEWA   RADARDEPOK.COM, DEPOK - Selasa (24/9) merupakan terakhir DPR memberikan jawaban atas  kesepakatan empat poin yang ditandatangani Sekjen DPR RI, Indra Iskandar. Jika tidak, mahasiswa akan menggelar demo secara besar-besaran di rumah wakil rakyat tersebut. Ketua BEM UI Depok, Manik Marganamahendra menegaskan, tidak setuju terhadap pengesahan RUU KUHP dan UU KPK yang baru, karena di dalam RUU KUHP itu sangat tidak Pro kepada kaum perempuan. “Saya tidak setuju dengan pengesahan RUU KUHP yang baru, baik kaum perempuan maupun pria itu sekarang derajatnya sama, tidak ada ceritanya perempuan karir pulang malam bisa dipenjara.” ucapnya kepada Radar Depok, Minggu (23/9). Saat demo, kata Manik munculnya RUU KPK dan RUU KUHP menjadi kontroversi hingga banyak penolakan dari masyarakat. Makanya, Kamis (19/9) ratusan mahasiswa melaukan demo di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat. Dari demo tersebut mengasilkan empat poin kesepakatan yang ditandatangani oleh Sekjen DPR RI Indra Iskandar dilanggar. "Dari empat poin itu tentunya kita akan konsolidasikan lagi, sampai Selasa (24/9) kita akan terus mengawal DPR,” tegasnya. Menurutnya, tak menutup kemungkinan mahasiswa kembali geruduk Gedung DPR RI, apabila RUU KUHP diketuk palu dan disahkan. 24 September waktu terakhir yang diminta mahasiswa, untuk memastikan bahwa RUU KUHP dibatalkan. Mahasiswa menunggu niat baik DPR dan pemerintah merealisasikan tuntutan mereka. "Sebenarnya hitungan kami yang tadi sudah kita ajukan pokoknya tanggal 24 September adalah batasnya. Yang jelas kami akan menuntut moril dari DPR. Kami akan membawa mahasiswa lebih besar dari ini," tegasnya. Pengamat politik, Ray Rangkuti mengatakan, masyarakat diharapkan tetap mengawasi proses kelanjutan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di DPR, kendati Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan menunda pengesahan rancangan undang-undang tersebut. Sebab, RKUHP dapat bernasib sama seperti RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disahkan secara kilat dan senyap. "Masyarakat harus terus awasi dan kawal RKUHP ke depan. Sebab, istilah yang digunakan saat revisi Undang-undang KPK pada tahun 2017, itu sama penundaan. Tapi, (belum lama ini) revisi UU KPK begitu saja masuk dalam pembahasan meskipun tidak dicantumkan di prolegnas prioritas. Tidak ada dengar pendapat, dibahas dengan tertutup, diparipurnakan tanpa kuorum," ujar Ray. Menurut Ray, keputusan Presiden Jokowi meminta DPR untuk menunda pengesahan RKUHP tidak lepas karena makin besarnya aksi unjuk rasa penolakan dari kelompok mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya. Namun, saat masyarakat lengah karena teralihkan isu tertentu, dimungkinkan pemerintah bersama DPR kembali melanjutkan pembahasan RKUHP untuk selanjutnya disahkan menjadi undang-undang. Hal itu telah terjadi saat DPR bersama pemerintah mengesahkan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Korupsi (UU KPK). "Agar tidak terpana lagi seperti sebelumnya, yang justru memudahkan presiden dan DPR membawa hasil revisi ke paripurna. Intinya, jangan sampai masyarakat luput lagi," ujar pendiri Lingkar Madani (Lima) itu. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, ada kesan inkonsistensi dari Presiden Joko Widodo dalam menyikapi polemik pembahasan RUU yang dikebut DPR beberapa waktu terakhir. Terutama Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan RUU Pemasyarakatan. Jokowi sebelumnya seperti tidak menggubris derasnya penolakan RUU KPK dari masyarakat sipil. Hingga kemudian, regulasi tersebut disahkan DPR. Sementara itu, terkait KUHP, Jokowi meminta penundaan pembahasan. ”Sebetulnya publik ramai sekali meminta agar revisi Undang-Undang KPK tidak dilanjutkan, tapi sikap presiden berbeda (saat menyikapi RKUHP dan RUU Pemasyarakatan, Red),” kata Asfinawati dalam sebuah acara diskusi di Jakarta kemarin (21/9). Perbedaan sikap presiden tersebut mengundang pertanyaan. Terlebih, tiga RUU itu sama-sama menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Seharusnya, kata dia, RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, maupun RUU KPK (sebelum disahkan menjadi UU) dikaji ulang sebelum presiden menyatakan sikap. Asfin melihat ada benang merah yang bisa dikaitkan antara RUU KUHP, UU KPK, dan RUU Pemasyarakatan. Menurut dia, aturan-aturan itu direvisi sedemikian rupa untuk mendukung UU Sumber Daya Air (SDA) yang baru saja disahkan serta RUU Pertanahan dan RUU Minerba yang saat ini dibahas di DPR. ”Jadi, ini sebenarnya sangat terpola,” ucapnya kepada Jawa Pos (Grup Radar Depok). Sementara itu, setelah pemerintah menunda pengesahan RUU KUHP, masyarakat berharap mendapat ruang untuk memberikan masukan. Khususnya pada pasal-pasal yang dinilai bakal memberangus kebebasan masyarakat hingga ranah privat. Aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Putri Kanesia menegaskan bahwa RUU KUHP berpotensi mengkriminalisasi korban kekerasan. Untuk itu, pemerintah perlu membuka lebih luas masukan dari perspektif korban. Tidak hanya mengatur hal yang justru memberikan beban ganda bagi korban. Pemerkosaan misalnya. “Ini akan berpotensi mengkriminalisasi korban karena pelaku bisa saja mengklaim telah melakukan hubungan secara konsensual,” sebut Putri. Hal yang sama berlaku untuk pasangan suami istri (pasutri) di daerah pelosok atau minim akses informasi. Putri menjelaskan, masih banyak orang yang memang belum mencatatkan pernikahan secara hukum karena ketidakmampuan dan ketidaktahuan mengurus dokumen. Berbahaya jika kemudian RUU KUHP disahkan dan dianggap semua orang tahu tanpa ada sosialisasi atau dialog dengan masyarakat adat.(mg1/hmi/JPC)   Berikut Hasil Audiensi Mahasiswa dengan DPR: 1. Aspirasi dari masyarakat Indonesia yang direpresentasikan mahasiswa akan disampaikan kepada pimpinan Dewan DPR RI dan seluruh anggota. 2. Sekjen DPR RI akan mengundang dan melibatkan seluruh mahasiswa yang hadir dalam pertemuan 19 September 2019, dosen atau akademisi serta masyarakat sipil untuk hadir dan berbicara di setiap perancangan UU lainnya yang belum disahkan. 3. Sekjen DPR menjanjikan akan menyampaikan keinginan mahasiswa untuk membuat pertemuan dalam hal penolakan revisi UU KPK dengan DPR penolakan revisi UU KPK dan RKUHP dengan DPR serta kepastian tanggal pertemuan sebelum tanggal 24 September 2019. 4. Sekjen DPR akan menyampaikan pesan mahasiswa kepada anggota Dewan untuk tidak mengesahkan RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Minerba dan RKUHP dalam kurun waktu empat hari ke depan.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

Jangan Malas! Ayah di Depok Diminta Ambil Rapor Anak

Jumat, 19 Desember 2025 | 06:30 WIB

Buruh di Depok Ingin UMK Naik 6,5 Persen

Kamis, 18 Desember 2025 | 07:30 WIB

BPN Depok Sematkan Pin Emas Kepada Kejari

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:30 WIB
X