Senin, 22 Desember 2025

Lipsus Radar Depok : Manusia Silver Depok Berkiprah, Menantang Kanker Demi Rupiah

- Senin, 1 Maret 2021 | 12:57 WIB
RADARDEPOK.COM - Di beberapa perempatan jalan atau lampu merah, tak jarang kita lihat ada orang yang sekujur tubuhnya dibaluri cat berwarna perak, atau lebih dikenal dengan sebutan ‘Manusia Silver’ berjalan dan berkeliling mengais rezeki. Sejumlah manusia silver yang ditemui mengaku, mereka berani beraksi seperti itu demi memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Apalagi di masa pandemi ini lapangan pekerjaan semakin sulit. Di sisi lain, cat untuk mewarnai tubuh ternyata memiliki dampak yang kurang baik bagi kulit. Siang itu di Jalan Raya Sawangan, tak jauh dari Polsek Pancoranmas dan perempatan Jalan Mampang, tampak dua orang perempuan berkilauan badannya di tengah teriknya matahari. Dari ujung kaki hingga muka terbalur cat berwarna silver. Salah satu di antaranya menadahkan sebuah toples ke pengendara yang melintas, sambil melakukan gerakan pantomim. Kedua perempuan itu berharap, lewat aksi mereka dapat mengais rezeki dari para pengendara. Panasnya matahari mengalahkan tekad mereka. Kedua perempuan itu mencoba berteduh sejenak di sebuah selasar toko swalayan yang ada di sana. Mereka berharap, ada mobil bak terbuka lewat mau mengantar pindah ke lokasi lain yang akan dituju. Kedua perempuan berlumur cat silver tersebut adalah Dian Puspita Sari (15) dan Winda Oktaviani (15). Mereka mengaku tinggal di kawasan Pitara Kelurahan Pancoranmas, Kecamatan Pancoranmas. Kepada Radar Depok Dian mengaku, baru dua bulan belakangan ini melakoni peran sebagai manusia silver. Seperti anak jalanan lainnya, kondisi ekonomi menjadi alasan mereka melakoni peran manusia silver. “Kami mau bantu orang tua buat cari uang,” katanya. Dian mengatakan, saat ini ia masih berstatus sebagai pelajar kelas IX di salah satu sekolah swasta di Kota Depok. Kegiatan menjadi manusia silver ia lakoni setelah selesai menjalani sekolah daring. Kedua orangtuanya merupakan keluarga pra sejahtera. Ayahnya  seorang pemulung, sedangkan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Hal itu yang mendorongnya turun ke jalan menjadi manusia silver. “Uang hasil di jalan ini sebagian saya kasih ke orang tua, sebagian lagi untuk jajan,” terangnya. Senada, Winda mengaku, beraksi di jalan menjadi manusia silver untuk membantu orang tuanya mencari nafkah. Hanya saja ia tak seberuntung Dian. Ia harus putus sekolah lantaran tidak memiliki biaya. “Ayah saya tukang ojek pengkolan, ibu saya hanya di rumah saja,” tuturnya. Setiap beraksi, keduanya selalu berjalan bersama. Biasanya mereka mulai aksi pada jam sembilan pagi hingga bada Maghrib. Rute dilalui mulai dari Pitara hingga Parung Bogor. Untuk pindah dari satu tempat ke tempat lain, biasanya mereka tempuh dengan berjalan kaki, atau menumpang mobil bak terbuka. Jerih payah mereka ini rupanya tak sebanding dengan penghasilan yang mereka dapat. “Sehari paling gede kami dapat Rp88 ribu, paling kecil Rp25 ribu. Uangnya kami bagi rata,” ujarnya. Untuk menjadi manusia silver, mereka ternyata harus mengeluarkan biaya. Biaya ini diperlukan untuk membeli bahan pewarna yang akan dilumuri ke tubuh mereka. “Sebelumnya kami bayar ke temen Rp10 ribu untuk sekali mewarnai, sekarang udah beli sendiri,” tuturnya. Mereka membeli bahan pewarna tersebut dari pengusaha sablon yang ada di Depok Timur dan Cibinong. Satu kaleng cat dibeli dengan harga Rp80 ribu. Menurutnya, jika dipakai berdua, cat itu bisa dipakai selama satu bulan. “Bahannya cepet luntur, apalagi kalau sedang keringatan,” ucapnya. Winda menegaskan, cat silver yang ia pakai tidak bertahan lama. Paling lama hanya tiga jam. Maka itu, biasanya mereka membawa stok untuk mengecat tubuh kembali, kalau mulai luntur. “Catnya kaya serbuk gitu, tinggal ditambah minyak goreng baru dilumurin ke badan. Kalau ngilanginnya tinggal pakai sabun cuci piring cair,” ungkapnya. Ia menambahkan, tidak ada dampak serius yang mereka rasakan saat menggunakan bahan pewarna tersebut. Hanya terasa panas saja di badan, apalagi kalau cuaca sedang terik. Mereka berharap, bisa mengumpulkan uang yang dapat membantu perekonomian keluarga. “Uangnya saya tabung buat sekolah lagi, sama mau beli handphone karena saya gak punya,” tandasnya. Selain Dian dan Winda, aksi manusia silver juga dilakoni Jefri (14). Ia yang biasa mengamen di sekitar Jalan Arif Rahman Hakim ini, seharusnya duduk di bangku kelas IX sekolah menengah pertama. Tuntutan ekonomi keluarga yang tak mencukupi, membuat dirinya sejak 2018 harus memupuskan cita-citanya dan berhenti mengenyam pendidikan. "Sebelum jadi manusia silver, saya dan teman-teman biasanya ngamen di sekitar terminal dan stasiun. Jadi manusia silver, saya kurang lebih baru delapan bulan," ucap pria perawakan kurus ini. Awal mulanya, dia diajak oleh teman-temannya untuk menjadi manusia silver, anak yang tinggal di kontrakan petak daerah Pasar Lio ini tertarik, karena memang kini manusia silver bisa dibilang sedang marak-maraknya. "Biasanya kami mulai siang, sekitar abis zuhur hingga menjelang Maghrib. Tapi kalau hari libur dari pagi. Lumayan pendapatannya," ucap Jefri. Hasil yang didapat terbilang lumayan. Jika dihari libur dia mampu mengantongi hingga Rp150 ribu. Tetapi, saat pandemi seperti saat ini pendapatannya ikut turun drastis. "Saat ini sehari Rp100 ribu aja sudah bersyukur. Untuk biaya hidup sehari-hari, sama membeli cat. Biasanya kami beli di Kota Tua, 1/4 kilo harganya sekitar Rp70 ribu dan bisa dipakai tiga badan," terangnya. Pernah diamankan Satpol PP, tetapi tak membuatnya berhenti menyudahi profesi yang sudah dijalaninya hampir satu tahun ini. "Karena memang itu cat bubuk yang dicampur dengan minyak goreng. Pas awal jadi manusia silver ada alergi, badan pada kemerahan dan ngelupas. Tetapi hanya berjalan satu minggu, sesudah itu tidak ada efeknya," ujarnya. Sementara, salah satu pengguna jalan Herman mengatakan, sebenarnya dengan keberadaan anak-anak manusia silver ini sedikit mengganggu pengguna jalan. "Sedikit mengganggu, tetapi belum terlalu berlebihan. Yang menjadi perhatian, sangat disayangkan mereka harusnya masih sibuk sekolah tetapi harus mencari nafkah," ujarnya. Dirinya berharap, semoga tidak ada lagi yang mempekerjakan anak-anak usia sekolah. "Semoga tidak ada lagi pengamen seperti itu yang masih anak sekolah," terangnya. Terpisah, Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, Yuliana Laksmini menyebutkan, keberadaan manusia silver bukan hanya masa depan dan proses tumbuh kembangnya yang terganggu, hal penting lainnya yaitu penyakit yang mengintai setiap waktu. Baik jangka panjang maupun jangka pendek. Ia menilai, biasanya cat yang digunakan adalah cat berbahaya untuk kulit. Terlebih, para pelaku melumuri badan dengan minyak sayur atau tanah agar terlihat mengkilat, setelah usai dicat warna silver. “Pada umumnya cat mengandung bahan kimia, logam berat seperti timbal, titanium, hidrokarbon, dan pelarut atau biasa yang dikenal thinner. Pastinya itu semua tidak dianjurkan untuk pemakaian di kulit,” ungkap Yuliana kepada Radar Depok. Pasalnya, penggunaan cat yang bukan semestinya pada kulit, akan memengaruhi saraf yang dapat menimbulkan gejala pusing atau sakit kepala, iritasi mata sampai saluran napas, hingga iritasi serta alergi kulit. Bahkan jika dipakai secara rutin, dengan waktu lama akan menyebabkan kerusakan paru. “Kalau jangka panjangnya, bisa kerusakan hati, ginjal, otak, cacat pada bayi, sampai pada kanker,” bebernya. Lalu thinner yang digunakan dapat terhirup yang menimbulkan pusing, lemas, mual, koma atau bahkan kematian. Sehingga berbagai pihak harus berupaya memberikan edukasi akan bahayanya cat pada manusia silver yang selalu mengancam diri.

Koordinator Manusia Silver Ditelusuri

MENGADU NASIB : Dua orang manusia silver saat beraksi. FOTO : INDRA SIREGAR/RADAR DEPOK Pemkot Depok terus berupaya menangani Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).  Salah satunya penertiban manusia silver, yang kian marak ada hampir di setiap perempatan lampu merah di Kota Depok. Bahkan sejumlah masyarakat menilai, ketika ada di jalanan keberadaan manusia silver cukup meresahkan. Berdasarkan data Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Depok, sejak Januari hingga Februari 2021 sebanyak 17 manusia silver terjaring razia. Di Januari ada sembilan manusia silver  diamankan, pada Februari ditertibkan delapan orang. Sekretaris Satpol PP Kota Depok, Fery Birowo menuturkan, menjaring manusia silver tidaklah mudah, karena kebanyakan remaja dan anak-anak. Ia memperkirakan mereka masih usia sekolah. Saat melihat petugas, manusia silver ini akan langsung menghindar dan lari. “Pada penertiban 25 Januari hingga 13 Februari, ada 17 manusia silver yang terjaring,” ungkap Fery Birowo kepada Radar Depok, Minggu (28/02). Fery melanjutkan, selain anak-anak dan remaja, manusia silver juga ada yang sudah dewasa dan orang tua. Bagi yang sudah ditertibkan, akan diberi arahan serta dikumpulkan untuk didata. Lalu data tersebut akan diberikan kepada Dinas Sosial (Dinsos). Pengarahan yang disampaikan agar para manusia silver tidak lagi melakukan hal serupa. “Kemudian kami tanya-tanya serta diberikan surat perjanjian agar tidak melakukan lagi,” jelasnya. Saat ini pihaknya sedang menulusuri dan mencari siapa dalang dibalik para manusia silver ini, apakah ada yang mengoordinir atau mereka bekerja secara individu. Karena keberadaannya, dianggap sudah sangat mengganggu ketentraman dan meresahkan masyarakat Kota Depok. “Pada dasarnya kemungkinan ada yang mengoordinir. Tapi masih belum kami temukan. Kami sedang mencari siapa yang mengoordinir di wilayah Depok ini,” ucapnya. Terpisah, Kepala Dinsos Kota Depok, Usman Haliyana mengatakan, pihaknya banyak menangani PMKS, salah satunya adalah manusia silver. Terkait tindak lanjut dari hasil penertiban Satpol PP Kota Depok, Dinsos langsung melakukan assesment kepada manusia silver yang terjaring. “Tidak hanya Satpol PP saja, sebenarnya yang melakukan penertiban, kami bahkan sering melakukan jangkauan kepada anak jalanan dan manusia silver,” tuturnya. Assesment dilakukan untuk memperoleh data manusia silver yang terjaring. Di antaranya alamat tempat tinggal, usia, dan data lainnya. Karena kebanyakan manusia silver masih anak-anak, biasanya setelah assesment Dinsos memilah mana yang harus dipulangkan, mana yang warga Depok, dan sebagainya. Apabila manusia silver masih memiliki keluarga atau orangtua, maka keluarganya dipanggil dan diminta pertanggungjawaban atas anak tersebut. Pertanggungjawaban yang dimaksud adalah, bagaimana anak-anak bisa berada di jalanan untuk melakukan kegiatan ini. Dan tentunya keluarga diminta pembinaan. “Kadang manusia silver kami bawa ke rumah singgah atau Rumah Peristirahatan Sementara (RPS) yang kami miliki di Beji Timur. Di sana kami perlakukan dengan baik, sambil menunggu apakah ada keluarga yang datang atau tidak,” jelasnya. Selanjutnya, apabila manusia silver yang terjaring berasal dari luar daerah Depok, maka mereka akan dikembalikan ke daerah asalnya. Dinsos Kota Depok berkoordinasi dengan Dinsos daerah asal manusia silver dan akan diantar. “Apabila manusia silver dirasa sudah cukup umur dan dewasa, maka akan dibawa ke panti rehab miliki pemerintah. Mereka akan diberi pelatihan, agar setelah keluar dari panti bisa punya keterampilan dan dijadikan usaha. Sehingga bisa mendapat penghasilan,” ucapnya. Namun, durasi manusia silver di panti biasanya hanya satu sampai tiga bulan saja, karena dirasa sudah memiliki bekal yang cukup. Selebihnya, mereka bisa keluar dan menggunakan ilmu yang didapatnya. Apabila manusia silver masih berusia sekolah, Dinsos membutuhkan peran Perangkat Daerah (PD) lain. Sepeti Dinas Pendidikan (Disdik), DPAPMK, Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker), dan sebagainya. “Intinya, kami tidak bisa bekerja sendiri mengatasi masalah ini. Butuh kerjasama antar dinas mengatasi ini. Karena kan alasan mereka adalah faktor ekonomi,” tegasnya. Sementara itu, Kepala Disdik Kota Depok, Mohammad Thamrin menjelaskan, setiap ada laporan dari dinas terkait tentang penjaringan manusia silver yang masih berusia sekolah, Disdik akan melakukan penindaklanjutan. Yaitu dengan menyelidiki manusia silver tersebut berasal dari sekolah mana. “Kami teruskan kepada kepala sekolah dan wali kelas anak tersebut. Kemudian didatangkan ke rumah anak tersebut juga, untuk memberikan arahan kepada orang tuanya,” tutur Thamrin kepada Radar Depok. Menurutnya, tidak semua anak yang dilaporkan ke Disdik masih berstatus sekolah. Ada juga manusia silver yang memang berusia sekolah, namun sudah putus sekolah. Bagi yang sudah putus sekolah dan memang benar warga Depok, Disdik akan mengarahkan mereka untuk ikut sekolah paket. “Bagi yang masih sekolah akan dilakukan pengawasan, dipantau Kepsek serta wali kelas. Sedangkan yang putus sekolah akan didaftarkan ke sekolah paket, biayanya memang gratis. Namun , pembukaannya baru Juli mendatang,” jelasnya. Thamrin berharap, semoga para orangtua bisa memantau anak-anaknya di rumah di kondisi sekarang. Serta tidak memanfaatkan anak-anaknya untuk mencari uang dengan cara menjadi manusia silver. “Karena selain meresahkan warga, bekerja di jalanan seperti itu untuk usia anak-anak sangat berbahaya,” pungkasnya.

Berisiko Terkena Penyakit

Salah satu penyebab munculnya fenomena manusia silver, yaitu karena angka kemiskinan  di Indonesia masih sangat tinggi. Menyebabkan sejumlah anak di bawah umur harus ikut serta membantu mencari nafkah bagi keluarganya. Hal itu disampaikan Psikolog Pertumbuhan Anak, Ghianina Armand. Ia menilai, tingginya angka kemiskinan yang mendorong masyarakat kurang mampu mencari cara baru dalam mencari nafkah, salah satunya menjadi manusia silver. “Manusia silver merupakan fenomena yang baru, dapat dibilang cukup unik, dan menarik perhatian masyarakat,” terang Ghianina kepada Radar Depok. Dilanjutkannya, tentu ini akan berdampak secara jangka panjang maupun pendek. Hal tersebut memiliki dampak signifikan kepada kesehatan anak. Sebab, dimasa pandemi dengan tidak menggunakan pakaian, kemudian berjalan keliling di area terbuka dapat menurunkan imunitas serta meningkatkan risiko terkena penyakit bagi anak. “Selain itu, cat sablon silver yang digunakan juga pasti didasarkan oleh bahan kimia, yang membahayakan kesehatan sang anak,” ungkap Ghia—biasa ia disapa. Fenomena manusia silver merupakan suatu bentuk dari eksploitasi anak, melalui segala bentuk pekerjaan yang mengganggu proses perkembangan seorang anak. Dengan terganggunya proses tersebut, pastinya dapat memengaruhi kesehatan mental sang anak di masa depannya. Ghia menyontohkan, yang seharusnya waktu digunakan untuk belajar dirumah atau mengasah kemampuan sosialisasi dengan keluarga maupun teman, namun digunakan untuk menjadi manusia silver di jalanan. Sehingga aspek kemampuan tersebut menjadi kurang berkembang. Ghia yang spesial di bidang konselor perkembangan anak juga membeberkan, keluarga dan lingkungan tentu memiliki peran signifikan. Tugas seorang anak yaitu belajar, menjalani proses perkembangan. Ketika sang anak harus ikut serta dalam proses pencarian nafkah untuk keluarga, hal tersebut disebabkan kebutuhan keluarga yang belum terpenuhi, sehingga membutuhkan sumber tambahan. “Dengan begitu salah satu tambahan sumbernya adalah anaknya,” ucapnya. Meski begitu Ghia menyarankan, jika ingin diberdayakan, yang dapat dilakukan adalah menggunakan fenomena tersebut sebagai atraksi di taman rekreasional, bukan untuk proses pencarian nafkah di jalanan.  Dengan menggunakan sebagai atraksi di taman rekreasional, proses pembentukan menjadi manusia silver, tentu bahan atau perlengkapannya di perhatikan, yang memang khusus digunakan untuk pertunjukan. “Yang paling penting, tentu tidak mengajak anaknya lagi, sebab tempat dan ruang diberikan,” tegas Ghia. Terpisah, Anggota Komisi D DPRD Kota Depok dari Fraksi PDI Perjuangan,  Rudi Kurniawan mengatakan, beberapa waktu lalu dalam rapat kerjanya telah berkoordinasi dengan Dinas Sosial (Dinsos), serta Dinas Perlindungan Anak Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga  (DPAPMK) terkait maraknya manusia silver ini.  "Memang sudah ditertibkan oleh Dinsos, setelah diberikan arahan kembali dibebaskan. Ini sebenarnya cukup sulit juga mengatasinya, tidak bisa terburu-buru," ucap Rudi kepada Radar Depok, Minggu (28/2). Dirinya memberikan solusi, agar dibuatkan plang-plang dari besi terkait larangan dan imbauan untuk tidak mengamen atau sejenisnya. "Kami juga dengan dinas terkait sudah berupaya semaksimal mungkin, mau membuatkan akte kelaiharan agar mereka semua bisa melanjutkan sekolah," tuturnya. Lebih lanjut, Rudi menuturkan, dirinya juga gencar menyosialisasikan kepada masyarakat, khususnya yang memiliki anak putus sekolah agar bisa mengikuti sekolah paket, untuk mengejar ketertinggalan. "Tetapi tidak semudah itu, kembali lagi ke anak-anaknya mau atau tidak. Dimasa pandemi seperti saat ini, memang kondisinya serba susah, dengan alasan ekonomi mereka putus sekolah hingga akhirnya mengamen," terangnya. Baginya, situasi seperti ini maka yang paling pokok yakni melakukan pemulihan ekonomi. Agar semua kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi, agar menekan angka putus sekolah. "Selain itu, masyarakat juga harus selektif dalam memberikan uang. Mereka terus berprofesi seperti ini karena memang banyak masyarakat yang memberi, jika masyarakat tidak memberikan uang maka mereka juga dengan sendirinya menyudahi profesi ini," pungkasnya. (rd)   Jurnalis/Editor : Tim Radar Depok

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

Jangan Malas! Ayah di Depok Diminta Ambil Rapor Anak

Jumat, 19 Desember 2025 | 06:30 WIB

Buruh di Depok Ingin UMK Naik 6,5 Persen

Kamis, 18 Desember 2025 | 07:30 WIB

BPN Depok Sematkan Pin Emas Kepada Kejari

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:30 WIB
X