RADARDEPOK.COM – Tuntutan Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) belum juga menerima draf. Maupun statement dari pemerintah dan DPR RI terkait membahas pasal-pasal bermasalah pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Selasa (5/7). Sembari menunggu jawaban, BEM UI bakal memperkuat basis dalam ke ilmuan tentang RKUHP.
Kepada Harian Radar Depok, Ketua BEM UI, Bayu Satria Utomo mendesak Dewan DPR dan pemerintah membuka akses draft terbaru RKUHP ke publik, sebelum disahkan dalam rapat paripurna pemerintah bersama DPR RI. Pembahasan RKUHP harus dilaksanakan secara transparan dan inklusif dengan mengutamakan partisipasi publik yang bermakna.
Baca Juga : PPKM di Depok Naik Level, Walikota : Kapasitas Ruangan Hanya 70 Persen
Pihaknya, mendorong pemerintah dan DPR, agar melakukan peninjauan kembali terhadap pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP sebelum pengesahan dilakukan. “Sampai hari ini (Kemarin) kami belum medapatkan draf. Dan masih belum mendapatkan statement dari pemerintah dan DPR RI untuk membahas pasal-pasal bermasalah, “ ujar Bayu Satria Utomo.
Bayu mengungkapkan, dalam waktu dekat berencana akan memperkuat basisnya dalam ke ilmuan, dengan membangun diskusi-diskusi di setiap kampus mulai dari Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Papua. Pasal yang bermasalah : Pasal 218 dan 291 yang mengatur bahwa setiap orang yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden dimuka umum baik secara langsung maupun melalui fasilitas digital dapat di pidana 3 - 4 tahun.
Lalu, ada Pasal 240 dan 241 mengatur penginaan terhadap pemerintahan yang dilakukan secara langsung ataupun menggunakan fasilitas digital di pidana 3-4 tahun penjara. Kemudian Pasal 273 tentang penyelenggaraan unjuk rasa atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang dilakukan ditempat umum dapat di pidana satu tahun penjara.
Selain itu, seseorang dapat di pidana 1-2 tahun penjara, apabila melakukan penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, baik secara lisan maupun tulisan sebagaimana dimaksud pada Pasal 353 dan 354.
Sementara itu, Direktur DEEP Indonesia, Yusfitriadi mengatakan, penyusunan RKUHP banyak pihak prosesnya jauh dari prinsip keterbukaan, dimana tidak banyak pihak yang terlibat dalam penyusunan RKUHP. Sehingga dengan tidak adanya prinsip keterbukaan tersebut, RKUHP berpotensi untuk dijadikan sebuah alat yang berupa regukatif. Untuk tidak takut partisipasi publik dalam menatakelola aktifitas berbangsa dan bernegara. “Cenderung regulasi disusun hanya untuk kepentingan kekuasaan,” ujar Yusfitriadi.
Ada sekitar 14 pasal dalam RKUHP yang mengancam dan membungkam nalar kritis masyarakat. Diantaranya pasal penghinaan terhadap presiden. Ketika pasal itu lolos dan sudah menjadi KUHP, maka ada kehawatiran adanya pembungkaman terhadap aktivitas kritis rakyat Indonesia, dengan dalih sebuah penghinaan terhadap presiden. Dan hal itu sudah dipastikan akan diterjemahkan dalam berbagai peraturan yang mengarah kepada pejabat negara lainnya.
Yusfitriadi mengatakan, RKUHP dibuat salah satu faktornya karena KUHP yang sekarang ada didominasi oleh warisan kolonial. Namun, dalam RKUHP tersebut jestru menegaskan kembalinya pasal peodalisme, anti kritik dan tidak kuat memberikan ruang berekspresi bagi masyarakat. “Oleh karena itu perlu adanya dorongan yang kuat beberapa hal, demi menghadirkan KUHP berpihak terhadap seluruh rakyat Indonesia,” ungkapnya.
Beberapa dorongan diantaranya adalah, pertama, pelibatan masyarakat yang lebih massif dan konprehensif dalam penyusunan RKUHP. “Misalnya melibatkan representatif kampus, para pendekar hukum yang ada di Indonesia, seperti guru-guri besar hukum yang saya pikir banyak sekali jumlahnya di Indonesia” katanya.
Kedua, dalam prosesnya dari mulai penyusunan rancangab, proses pembuatan KUHP lebih transparan, supaya masyarakat diberikan ruang untuk memberikan masukan.
Ketiga, DPR yang berperan sebagai regulator diharapkan berpihak pada kepentingan masyarakat dalam membuat undang-undang, dan regulasi apapun termasuk FKUHP ini. “Karena yang belum lama ini, rakyat indonesia dikagetkan dengan omnibuslaw dan UU KPK yang sangat cepat pembahasannya dan sama sekali tidak mempertimbangan gejolak yang ada di tengah masyarakat Indonesia,” tutupnya.(ana/rd)
Jurnalis : Andika Eka
Editor : Fahmi Akbar