RADARDEPOK.COM – Korps Adhyaksa pusat ternyata serius menggarap dugaan korupsi pembelian bidang tanah yang dilakukan PT Adhi Persada Realti (APR) pada 2012-2013. Setelah menganggil Kepala Kantor Pertanahan Kota Depok SA dan memeriksa LMLBR selaku Direktur Utama PT Megapolitan Development, Tbk. Kejaksaan Agung (Kejagung) juga memeriksa petinggi PT Adhi Persada Realti dan eks Lurah sekaligus Camat Limo Depok terkait kasus korupsi tersebut.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus Kejagung, Supardi menjelaskan, mantan Lurah dan Camat Limo Depok atas nama Zaenuddin diperiksa, terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi pembelian sejumlah bidang tanah yang dilakukan PT Adhi Persada Realti di tahun 2012-2013.
Baca Juga : Mau Beli MinyaKita di Kota Depok, Cuma Disini Tempatnya
Zaenuddin diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi terkait perkara korupsi tersebut. Supardi mengatakan, saksi lainnya yang diperiksa terkait perkara tersebut adalah Legal Officer PT Adhi Persada Realti atas nama Irwan. "Iya, keduanya diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi PT Adhi Persada Realti," tuturnya, belum lama.
Menurut Supardi, keduanya diperiksa tim penyidik Kejagung untuk mendalami perkara tindak pidana korupsi pembelian sejumlah bidang tanah yang telah dilakukan PT Adhi Persada Realti di tahun 2012-2013 lalu. "Ya diperiksa terkait perkara korupsi pembelian tanah itu," katanya.
https://www.youtube.com/watch?v=P_N00ylt9Yg
Sebelumnya, Senin (4/7), Tim Jaksa Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa Kepala Kantor Pertanahan Kota Depok SA terkait kasus dugaan korupsi pembelian bidang tanah yang dilakukan PT Adhi Persada Realti (APR) pada 2012-2013. Pemeriksaan disebut-sebut guna membuat terang perkara.
“SA diperiksa guna menerangkan pemilikan tanah PT Adhi Persada Realti di Limo Kota Depok yang tercatat di Kantor Pertanahan hanya sebesar 1,2 hektare sebagaimana di dalam sertifkat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 5316 atas nama PT Adhi Persada Realti seluas 12.595 M²,” kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangan tertulisnya, Senin (4/7).
Ketut mengatakan, selain objek tanah tersebut, PT Adhi Persada Realti pernah mengajukan dua permohonan untuk memperoleh HGB untuk tanah adat seluas 76.752 M² dan 18.450 M² pada 2012. Permohonan tersebut dikembalikan Kantor Pertanahan Kota Depok.
“Lalu kemudian diterbitkan berita acara pembatalan berkas permohonan karena terdapat tanah yang belum clean and clear. Akibat adanya surat penolakan dari pihak-pihak lain yang mengaku sebagai pemilik tanah terhadap proses penerbitan SHGB yang diajukan oleh PT Adhi Persada Realti yang diterima Kantor Pertanahan Kota Depok,” ungkap Ketut.
Selain SA, Kejagung juga memeriksa LMLBR selaku Direktur Utama PT Megapolitan Development, Tbk. Dia diperiksa untuk menerangkan menyangkut kepemilikan tanah Kelurahan Limo (Blok Kramat) dan mengklaim bahwa tanah Blok Kramat tersebut adalah milik PT Megapolitan yang dibeli oleh almarhum suaminya (SBR). “Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan,” ujar Ketut.
Kasus berawal saat anak usaha PT Adhi Karya (Persero) Tbk membeli tanah seluas 20 hektar di Kelurahan Limo, Kecamatan Limo, dan Kelurahan Cinere, Kecamatan Cinere, Kota Depok dari PT Cahaya Inti Cemerlang (CIC) pada 2012. Pembelian tanah tersebut untuk membangun perumahan atau apartemen.
Tanah yang dibeli PT APR itu ternyata tidak memiliki akses ke jalan umum dan harus melewati tanah milik PT Megapolitan. Bahkan, berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Depok, masih ada bagian tanah yang tercatat dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama PT Megapolitan yaitu SHM nomor 46 dan 47 atas nama SBR.
Dalam perjalanannya, PT APR telah menyetorkan uang pembelian lahan yang masih belum jelas sertifikatnya kepada PT Cahaya Inti Cemerlang. Pembayaran itu dilakukan melalui rekening notaris dan diteruskan ke rekening pribadi Direktur Utama dan Direktur Keuangan PT Cahaya Inti Cemerlang dan dana operasional.
PT APR mendapatkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 5316 atas nama PT APR seluas 1,2 hektar setelah melakukan pembayaran untuk seluruh lahan yang dibeli. Sementara itu, sisanya 18,8 hektar masih dalam penguasaan orang lain. “Ini namanya bermasalah,” kata Ketut di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (15/6) lalu.
Ketut menilai, sebagai anak usaha perusahaan berpelat merah, PT APR tidak perlu membayar seluruh uang yang disepakati sebelum sertifikatnya jelas. Sebab, PT APR memiliki standar operasional prosedur (SOP) pertanggungjawaban dalam setiap pengadaan. “Ada perjanjian, ada sertifikat hak milik jelas kepemilikannya, nah kalau dia tahu tidak jelas, kenapa dibayar? Kan itu permasalahannya,” ujar Ketut.
Kejagung masih menyidik kasus tersebut. Belum ada penetapan tersangka. Kerugian negara masih dihitung dan kuat dugaan mencapai puluhan miliar rupiah.(bis/net/rd)
Editor : Fahmi Akbar