Oleh: K.H. A. Mahfudz Anwar
(Ketua MUI Kota Depok)
RADARDEPOK.COM -- Banyak orang mengira bahwa musibah itu hanya berupa penderitaan fisik, seperti datangnya musibah bencana banjir, musibah tanah longsor, musibah kematian, musibah terjangan angin puting beliung, dan lain-lain.
Padahal sebenarnya musibah itu tidak hanya itu saja. Termasuk musibah kemiskinan, kebodohan, kemalasan dalam beribadah dan lain-lain, itu juga musibah. Walhasil musibah itu sesuatu yang merugikan diri seseorang baik secara kelompok maupun sendiri-sendiri.
Maka sebagai seorang muslim yang baik akan selalu bersabar dalam menghadapi berbagai musibah. Ketika ditimpa musibah dia sadar bahwa musibah itu pada hakikatnya datang dari Tuhannya, yaitu Allah SWT.
Karena Allah SWT yang mentakdirkan segala sesuatu buat manusia. Bahagia atau celaka, untung atau rugi, baik atau buruk, semua itu bagian dari takdir Allah yang kita semua harus meresponnya dengan positif. Bukan dengan menyalah-nyalahkan Tuhan. Seakan tidak ridla pada ketentuan-Nya.
Respon positif itulah yang bisa mengantarkan dirinya berubah dari keadaan yang dialaminya. Misal seseorang diuji oleh Allah SWT tidak punya uang, maka dia sadar bahwa yang mendatangkan uang kepadanya adalah Allah SWT lewat temannya atau relasi kerjanya dan sebagainya.
Maka dia meningkatkan usahanya melalui persaudaraan atau silaturrahim yang sudah dijanjikan oleh Rasulullah SAW dengan silaturrahim akan memudahkan datangnya rezeki.
Demikian juga ketika diuji dengan kemalasan dalam beribadah, maka meresponnya dengan usaha meningkatkan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT melalui ibadah bersama orang-orang shaleh. Karena dengan berkumpul sama orang shaleh insyaAllah bisa merubah kemalasan menjadi kerajinan.
Misalnya saja seseorang jika shalat sendiri merasa agak kurang khusyu’, tapi kalau berjama’ah di mushalla atau di masjid akan bertambah semangat dan khusyu’. Karena itu jika ingin meningkatkan ibadah kita perlu teman, perlu kelompok yang bisa mendorong kita untuk semakin rajin beribadah.
Demikian juga ketika merasa tensi ibadah kita, shalat kita, dzikir kita, sedekah kita dan lain-lainnya turun, maka cara menaikkan tensi tersebut dengan berdoa dan mendekat kepada para Guru, atau para Ulama’ yang bisa membiming atau memberi arahan pada jalan kita menuju peningkatan ibadah.
Bukan malah menjauhi Ulama’, apalagi mengkritik sana, mengkritik sini. Kita segera pilih Ulama’ yang kita suka, yang kita cintai, agar ghirah ibadahnya merambah kepada hati kita, Dan akhirnya kita termotivasi untuk selalu beribadah dengan baik.
Jadi malas ibadah itu juga musibah yang besar bagi seorang muslim yang perlu disikapi dengan penuh kesabaran. Karena sabar itu (menurut para Ulama) dibagi menjadi 4 (empat).
Yaitu sabar dalam menjalankan Ibadah, sabar dalam menghadapi musibah (bencana), sabar dalam menghindari maksiat, dan sabar menghadapi glamornya dunia (harta). Dan meninggalkan ibadah merupakan salah satu musibah yang tidak ringan menghadapinya.
Karena meninggalkan ibadah termasuk maksiat (ingkar kepada Allah). Yang dosanya akan ditimpakan balasan neraka kelak di akhirat. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain, kecuali memerangi nafsu malas yang bisa jadi sedang hinggap pada diri kita.
Dan Rasulullah SAW pun sudah mengajarkan doa kepada kita antara lain: ”Yaa Allah kami berlindung dari sikap lemah dan sifat malas...” Artinya sifat malas adalah salah satu sifat yang harus dihindari oleh umat Islam. Seperti malas bekerja, malas belajar, malas ibadah dan malas-malas lainnya yang menjadikan diri kita semakin lemah.
Demikianlah paparan ini, semoga kita dijauhkan dari sifat malas. Wallahu a’lam bis shawab. (*)