RADARDEPOK.COM - Bom bunuh diri yang dilakukan Agus Sujatno menjadi pengingat bahwa aktivitas jaringan terorisme masih ada meski dari sisi intensitas menurun. Hal tersebut harus disikapi dengan kewaspadaan tinggi.
Agus Sujatno melakukan bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar pada Rabu (7/12) pagi. Ia menerobos masuk dan mengacungkan senjata tajam saat diadang anggota sebelum meledakkan bom. Sebelas orang menjadi korban dalam peristiwa itu.
Sepuluh orang di antaranya adalah anggota polisi dimana satu orang dinyatakan meninggal dunia. Satu orang korban adalah warga sipil. Para korban yang selamat langsung menjalani perawatan di rumah sakit.
Polisi langsung melakukan olah TKP dan mengamankan sejumlah barang bukti, di antaranya satu unit motor bebek dan belasan kertas belasan kertas bertuliskan protes penolakan terhadap rancangan KUHP yang baru disahkan.
Diketahui, Agus terafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bandung atau Jawa Barat. Aksi yang dilakukannya itu bukanlah yang pertama kali. Pada tahun 2017 lalu, ia terlibat dalam kasus bom panci di Kawasan Cicendo.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan pelaku pernah dipenjara selama empat tahun dan baru bebas dari Lapas Nusakambangan pada September 2021 lalu. Agus juga menjalani program deradikalisasi. Namun, ia termasuk napi teroris yang sulit untuk didekati atau diajak komunikasi.
“Hasil pemeriksaan sidik jari dan kemudian kita lihat dari face recognition, identik identitas Agus Sujarno biasa dikenal Agus Muslim," ucap Listyo.
"(Agus) dalam tanda kutip masuk dalam kelompok merah. Proses deradikalisasi (terhadap Agus) membutuhkan teknik dan taktik yang berbeda. Masih susah untuk diajak bicara. Cenderung menghindar walaupun sudah melaksanakan aktivitas," ia melanjutkan.
Listyo mengaku, sudah menginstruksikan kepada seluruh jajarannya agar kasus ini segera dituntaskan, termasuk menyelidiki kelompok yang terafiliasi dengan pelaku.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menilai kasus ini membuktikan bahwa jaringan teroris masih hidup meski dari sisi aktivitasnya sudah menurun. Hal ini perlu disikapi dengan peningkatan kewaspadaan.
"Saya berharap juga kita semua waspada, waspada itu satu aparat, kita punya polisi, densus, BNPT dan lain-lain meningkatkan kewaspadaan karena ternyata jaringan teroris itu masih ada meskipun secara kuantitatif sebenarnya sudah menurun," kata dia usai menengok korban di RS Immanuel.
"Sejak tahun 2018 sampai sekarang itu sudah jarang terjadinya, sekali-kali terjadi tetapi masih ada," Ia melanjutkan.
Di satu sisi, ia menilai perlu satu kesamaan pandangan mengenai upaya tindak tegas yang dilakukan berkaitan dengan kasus terorisme antara penegak hukum dengan masyarakat. Aksi terorisme ini tidak bisa dikaitkan dengan agama apapun, karena ini adalah musuh kemanusiaan.
Mahfud menyebut bahwa terorisme ini berkaitan dengan ideologi. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasinya adalah dengan deradikalisasi. Program itu penting karena sel sel jaringan teroris masih hidup meskipun sempat terkesan sudah seperti mati.
"Jaringannya masih hidup seperti sudah mati gitu, padahal selnya masih bergerak dan kalau sudah bergerak biasanya cepat," ujar dia.
Terpisah, Pengamat Terorisme, Al Chaidar mengatakan, kelompok teroris yang melakukan aksi bom bunuh diri itu menganggap RKUHP sebagai hukum setan. Sebab, KUHP tidak mempraktekan hukum islam sesuai dengan ideologi mereka.
"Kelompok teroris sangat konsen dengan KUHP tetapi tidak mengikuti prosesnya di parlemen dan mengambil kesimpulan bahwa itu hukum setan atau tidak benar karena negara tidak mempraktekan hukum islam," ungkapnya kepada Radar Depok, Rabu (7/12).
Chaidar menjelaskan, informasi yang beredar pada kelompok teroris itu kerap tidak akurat. Bahkan tidak jarang, informasi itu tidak benar adanya atau hoaks.
"Mereka tidak mengetahui secara mendalam tentang perkembangan informasi yang beredar. Sehingga, banyak yang salah mengartikan dan salah paham terhadap sebuah informasi termaksud RKUHP," ujarnya.
Menurut dia, aksi terorisme itu itu juga dipengaruhi adanya pasal atau ayat yang bersinggungan dengan paham yang dianut kelompok tersebut. Sehingga, pelaku melakukan penolakan dengan cara meledakan bom bunuh diri.
"Jadi kelompok teroris itu berpendapat barangsiapa yang tidak menerapkan hukum islam yang diturunkan Tuhan, maka mereka menggolongkannya sebagai kafir," terang Chaidar.
Lebih lanjut, Chaidar menafsirkan, pasal dalam KUHP yang menyinggung paham teroris berada pada Pasal 418, 471 dan 479.
"Mereka menganggap bahwa aborsi, kohabitasi dan perzinahan sebagai kekafiran," bebernya.
Sejauh ini, kata dia, masih banyak teroris yang menjalankan aktifitasnya. Berdasarkan data yang dikantonginya, sebanyak 35 ribu terorisme masih berkegiatan di Indonesia.
"Nah mereka 35 ribu ini masih aktif. Namun, mereka belum punya akses untuk melakukan serangan teror," tutur Chaidar.
Untuk itu, Chaidar meminta, kepolisian dan intelejen meningkatkan kewaspadaan. Karena, masih ada kemungkinan kelompok tersebut melakukan aksi teror lanjutan.
"Kepolisian harus mengikuti terus perkembangan kelompok ini. Kalu bisa yang lepas dari penjara tidak luput dari pantauan. Harusnya mereka juga mendapatkan hukuman lebih lama, kalau hukuman vonisnya lebih rendah akan berbahaya," berbernya.
Aiptu Anumerta Sofyan langsung dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Sukahaji, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung. Ia gugur saat mencoba menghalau pelaku bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar.
Upacara pemakaman yang dipimpin oleh Kasatbinmas Polrestabes Bandung, AKBP Sutorih dihadiri leh keluarga almarhum dan dipenuhi oleh kerabat dan tetangga. Aiptu Sofyan meninggal dunia sekira pukul 10.00 WIB setelah menjalani perawatan intensif.
Sebelum peristiwa terjadi, Sutorih mengungkapkan bahwa almarhum sempat mengadang pelaku yang masuk di Mapolsek Astana Anyar saat menggelar apel pagi.
"Pelaku memaksa masuk dan dihalangi Babinsa. Kebetulan almarhum menghalangi supaya tidak masuk (ke Mapolsek Astana Anyar). Pelaku bawa senjata tajam, Aiptu Sofyan mundur dan saat didorong langsung meledak karena bawa bom bunuh diri. Beliau seorang pahlawan karena beliau menghalang," tandas Sutorih. (bbb/ger/rd)