RADARDEPOK.COM - Kalau “Mereka” Sudah Suka Sama Kalian, Maka Kalian Tidak Akan Pernah Kembali.
Setelah melewati jalur Archopodo, atau yang biasa disebut jalur Kematian, kami bergerak menuju Basecamp dalam kondisi kaki yang terasa sakit tapi kita paksa untuk bergerak agar tidak terlalu malam tiba di Ranu Pane.
Iqbal Muhammad, Depok
Setelah menyelesaikan makan siang, tepat pukul 12:00, kita beranjak menuju Ranu Kumbolo, melewati pos Jambangan, Cemoro Kandang, Oro Oro Ombo dan terakhir menuruni bukit Cinta dan tiba di Ranu Kumbolo pukul 14:45. Di Ranu Kumbolo kita istirahat sejenak, meluruskan kaki yang sudah sakit ini.
Tepat pukul 16:00, rombongan mulai bergerak menuju Ranu Pane. Ade dengan rombongan Arlan sudah duluan, sedangkan saya, istri, Adam dan Fidel di belakang. Cahaya matahari semakin menipis, jalur menuju pos 2 mulai gelap. Istri saya cemas bukan kepalang mengingat anak saya Rama yang berada di depan sama rombongan Arlan, Kopdar, Oleng dan Idoy.
“Yah cepetan jalannya, kasian ade jaketnya ada disini sama headlampnya,” kata istri saya. “Iya bun, Ade aman sama Arlan dan temen temen, kasian Aa kakinya sakit kalau cepet cepet,” timpal saya.
“Aa kamu paksa jalannya cepet, kasian Ade, pasti kedinginan jaketnya ada di daypack bunda,” tegas Istri saya ke Adam. Adam tidak bisa menjawab, hanya melaksanakan perintah bundanya untuk jalan cepat walau kakinya sakit.
Setibanya di pos 2, Rama menunggu sama Kopdar, kami istirahat sebentar sambil mempersiapkan headlamp untuk penerangan selama perjalanan menuju Ranu Pane, kemudian melanjutkan perjalanan. Hari semakin gelap, perjalanan terasa panjang,kaki saya sudah terasa sakit sekali.
Bukan saya aja yang merasakan kaki sakit, anak saya Adam juga mengeluhkan kakinya. “Yah jangan cepet cepet jalannya kaki Aa sakit,” keluhnya. “Sabar ya nak, kita harus cepet jalannya karena sudah malam. Ditahan ya nak,” kata bundanya yang sudah mulai cemas.
Sambil menahan sakit sampai meneteskan air mata Adam tetap melanjutkan perjalanannya hingga akhirnya sampai di Ranu Pane pukul 19:20. Saya langsung memeluk anak saya satu persatu dan istri saya. “Alhamdulillah kita sampe dengan selamat,” bisik saya ke istri. “Alhamdulillah yah,” jawab istri saya.
Baca Juga: Tantangan dan Hambatan Pendakian Gunung Semeru dengan Keluarga Bagian 2: Menikmati Indahnya Ranu Kumbolo dan Oro Oro Ombo
Di dalam pos pemeriksaan tiket yang juga warung depan gerbang pendakian Gunung Semeru, sambil menunggu Jeep pesanan saya ke Mas Heri, saya dan istri sedikit berdiskusi tentang Gunung Semeru sama pria paruh baya yang diketahui bernama Mbah Baharjo, ia dikenal sebagai sesepuh Desa Ranu Pane yang juga Kuncen Gunung Semeru.
Mba Baharjo berada di ujung ruangan, dia sedang menikmati hangatnya kayu bakar dalam drum setinggi 50 cm, sambil memainkan game di handphone lawasnya.
Saya mendekati, berharap mendapat kehangatan dari kayu bakar itu. Beberapa kali saya nanya ke mbah Baharjo kondisi Semeru, dia tidak pernah menggubris pertanyaan saya, ia tetap asyik memainkan game tetris di HP nya.
Istri saya mendekat, kemudian dia cerita pengalaman turun dari Gunung Semeru. “Setelah turun dari puncak saya dan keluarga lewat jalur Blank 75 mbah, suasananya sunyi dan mencekam,” kata istri saya ke Mbah Baharjo.
Mendengar cerita istri saya, Mbah Baharjo yang tadinya sibuk memainkan Hp nya langsung menatap tajam ke istri dan saya sembari memasukan Hp ke saku celananya. “Biasanya korban hilang atau tewas di Blank 75, adalah orang yang mengikuti teman yang bukan temannya,” kata mbah Baharjo membuka pembicaraan tentang Blank 75 dengan tatapan mata serius.
Baca Juga: Tantangan dan Hambatan Pendakian Gunung Semeru dengan Keluarga Bagian 3: Menjadi Keluarga yang Berdiri Paling Tinggi di Pulau Jawa
“Mengikuti teman yang bukan temannya,” dalam hati saya. “Mungkin saat saya bertanya ke Oleng jalur mana, dia mengarahkan lurus masuk ke blank 75, saat itu oleng bukan teman saya,” pikir saya dalam hati.
“Alhamdulillah kalian bisa selamat sampai sini, kalau “mereka” sudah suka sama orang, biasanya tidak akan pernah kembali lagi,” kata Mbah Baharjo. “Mereka itu siapa mbah,” tanya istri saya polos. “Ya penghuni blank 75,” tegas Mbah Baharjo. Mendengar kata itu, saya dan istri saling menatap wajah dan mengucapkan Alhamdulillah kalau Allah melindung kami sekeluarga.
Mbah Baharjo cerita, pada 2016 lalu pendaki dari Swis (Lionel Du Creaux) hilang masuk blank 75, sampai sekarang belum juga ditemukan. “Tapi beberapa kali saya ke Archopodo, saya menemukan jejak kakinya,” cerita Mbah Baharjo. “Beruntung kalian masih dilindungi Allah,” katanya lagi.