“Sebab, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tak pernah mengatur tentang sistem pemilu, apakah bersifat proporsional terbuka atau tertutup,” tutur Fadli Zon.
Penentuan sistem pemilu merupakan isu teknis, bukan isu konstitusional.
Ini ranahnya para pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah, bukan ranahnya MK untuk ikut menentukan.
Ketiga, ketika keputusan ini diambil, sebagian tahapan pemilu telah dimulai, dan proses administrasi kepemiluan juga sudah berjalan.
Jika sampai sistem pemilu diubah di tengah jalan, ini bisa menimbulkan kekacauan politik dan ketatanegaraan.
“Kita bersyukur hal itu tak sampai terjadi. Jika sampai terjadi kekisruhan, kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya,” ucap Fadli Zon.
Di luar hal-hal yang telah disinggung tadi, Fadli Zon mengatakan, kita perlu sama-sama menyadari bahwa sistem proporsional terbuka merupakan bagian dari hasil Reformasi yang dulu diperjuangkan.
Jadi, sistem pemilu ini merupakan anak kandung Reformasi. Setiap upaya untuk menarik sistem pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup merupakan bentuk kemunduran terhadap Reformasi dan demokrasi.
“Sejak Pemilu 2004, sistem pemilu kita secara umum memang sudah menganut sistem proporsional terbuka,” terangnya.
Hanya saja teknis pelaksanaannya sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019 lalu memang telah mengalami beberapa perubahan terkait metode dalam proses alokasi kursi.
Tetapi, seluruh perubahan metode tadi tetap berada dalam frame sistem pemilu proporsional terbuka.
“Jadi, tak benar kalau ada yang mengatakan MK pernah mengubah sistem pemilu menjelang Pemilu 2009 lalu, sehingga tidak masalah kalau MK kembali mengubah sistem menjelang Pemilu 2024 nanti. MK tak pernah mengubah sistem pemilu, karena sejak 2004 sistem pemilu kita telah menganut sistem proporsional terbuka,” ungkapnya.
Perlu digarisbawahi, pada uji materiil tahun 2008 silam, semula UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur bahwa penentuan caleg terpilih adalah berdasarkan persyaratan pemenuhan perolehan suara 30 persen BPP (Bilangan Pembagi Pemilih), atau kuota harga kursi.
Oleh MK, Pasal itu dibatalkan melalui Putusan Perkara No. 22-24/PUU-VI/2008 menjadi sepenuhnya berdasarkan suara terbanyak.
Jadi, pada saat itu yang digugat ke MK adalah perubahan variabel penentuan caleg terpilih, bukan perubahan sistem pemilunya.