Pada saat itu, Tunjangan Hari Raya pemerintah berkisar antara 125 rupiah ($11) hingga Rp200 ($17,50).
Saat itu, kebijakan pemerintah menuai polemik dari para pegawai yang bekerja di perusahaan swasta.
Sebab pekerja keras di berbagai perusahaan swasta, para karyawan ini merasa terlibat dalam menghidupkan kembali perekonomian nasional.
Maka buruh juga meminta THR, seperti yang diberikan pemerintah kepada pegawai negeri atau pegawai negeri saat itu.
Tepatnya pada 13 Februari 1952 para buruh di berbagai perusahaan swasta melakukan aksi mogok untuk menuntut kebijakan agar para buruh tersebut menerima THR dari perusahaan swasta tempat mereka bekerja.
Menghadapi protes besar-besaran para pekerja terhadap persyaratan THR.
Alhasil, Perdana Menteri Sukiman meminta perusahaan bersedia membayarkan THR bagi karyawan.
Pemerintah akhirnya bisa meredam gejolak setelah tuntutan buruh atas THR berhasil dipadamkan.
Sejak itu, istilah THR menjadi populer di tanah air.
Namun, peraturan resmi tentang THR baru diperkenalkan bertahun-tahun kemudian.
Di bawah pemerintahan orde baru, Menteri Ketenagakerjaan memperkenalkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia No.1. 04/1994 THR Keagamaan tentang Pekerja Perusahaan.
Berkat ketentuan ini, hak karyawan untuk menerima THR memiliki dasar hukum.
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Sumber Daya Manusia yang juga mengatur tentang THR. ***