RADARDEPOK.COM - Setengah abad silam, serangan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin Mesir dan Syria kepada Israel berujung perang selama hampir tiga pekan.
Israel berhasil mempertahankan Semenanjung Sinai dan Dataran Tinggi Golan yang mereka rebut pada 1967. Tapi, di sisi lain koalisi negara-negara Arab juga masih merasa bisa tegak kepala karena berhasil unjuk kekuatan.
Meski berhasil mempertahankan diri, Israel merasa belum tentu bisa melakukannya lagi jika sewaktu-waktu para tetangga kembali melakukan serangan. Karena itu, upaya lobi dilakukan dan berujung pada Perjanjian Camp David 1978.
Baca Juga: Tiga Bulan di Depok Terjadi 97 Kebakaran, Paling Banyak di Bulan Ini
Sinai sepenuhnya dikembalikan ke Mesir dengan kompensasi pengakuan Kairo atas legalitas Israel sebagai sebuah negara berdaulat.
Lobi intensif serupa juga belakangan dilakukan Israel. Uni Emirat Arab sudah menormalisasi hubungan atau menjalin kesepakatan damai dengan Tel Aviv.
Begitu pula Bahrain, Sudan, serta Maroko. Arab Saudi pun dilaporkan siap bekerja sama secara diplomatik dengan Israel tahun depan. Mesir dan Jordania malah sudah lama sekali melakukannya.
Baca Juga: Besok Masa Jabatan Berakhir, Komisioner Baru KPU Depok Belum Ada
Bagaimana dengan gempuran Hamas kali ini? Memang ada kemiripan dengan gempuran koalisi 50 tahun lalu. Serangannya mengejutkan dan salah satu dampaknya, harga minyak naik.
Tapi, ya sudah sampai di situ saja persamaannya. Yang menyerang secara fisik kali ini hanya Hamas, bukan koalisi sejumlah kekuatan.
Selain itu, pasar minyak saat ini berbeda karakteristik dengan situasi sebelum Perang Yom Kippur pada Oktober 1973. Saat itu permintaan melonjak, sedangkan saat ini demand cenderung termoderasi menyusul kian meningkatnya penggunaan kendaraan listrik.
Baca Juga: Dua Bus Study Tour SMPN 3 Depok Tabrakan di Tol Cipali, Begini Nasib Siswanya Kata Kadisdik
’’Ekonomi global tidak akan mengalami embargo minyak dari Arab lagi yang menyebabkan harga minyak mentah naik tiga kali lipat. Tapi, di sisi lain, salah juga kalau meremehkan kemungkinan efek perang ini bakal mengerek harga minyak untuk waktu yang lebih lama,” tulis Javier Blas, kolumnis sekaligus co-author buku The World for Sale: Money, Power and the Traders Who Barter the Earth’s Resources di Bloomberg.com (7/10).
Situasinya, tulis Blas, akan bergantung pada reaksi Israel kepada Hamas. Juga respons Iran, yang mendukung penuh Hamas.
’’Saat ini OPEC (Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak) tidak berusaha untuk menggenjot harga. Sebelum Oktober 1973, para anggota OPEC sepakat menaikkan harga minyak sampai 70 persen. Meski embargo minyak yang paling diingat (dari Perang Yom Kippur), kenaikan hargalah yang justru lebih krusial,” tulis Blas lagi.***