RADARDEPOK.COM — Heboh soal praktik debt collector atau yang dikenal di masyarakat sebagai mata elang kembali mencuat.
Sejumlah video dan pemberitaan menampilkan aksi penagihan yang berujung kekerasan, pemaksaan, hingga perampasan kendaraan.
Namun, pelaku usaha jasa penagihan menilai persoalan ini tak bisa dilihat secara sepotong-sepotong melainkan harus secara keseluruhan.
Salah satu pemilik perusahaan jasa penagihan, Zulham Mulyadi Nasution, mengatakan akar persoalan kemunculan debt collector berawal dari adanya pelanggaran kontrak pembiayaan antara debitur dan perusahaan pembiayaan yang dilakukan debitur.
“Awal masalah bukan pada profesi penagihan yang dijalan oleh DC atau perusahaan jasa penagihan, tetapi pada kontrak pembiayaan yang tidak dijalankan oleh debitur, dengan tidak memenuhi kewajibannya sesuai perjanjian pembiayaan yang merupakan suatu undang-undang yang mengikat debitur dan kredutur, itu persoalan bermula,” kata Zulham, Senin (15/12).
Menurut Zulham, sebelum melibatkan pihak ketiga, perusahaan pembiayaan telah menempuh berbagai langkah internal, mulai dari surat peringatan, kunjungan persuasif, hingga negosiasi, tapi debitur tetap tidak melaksanakan kewajiban pembayaran angsuran sesuai perjanjian pembiayaan, dan Debt collector baru dilibatkan ketika upaya internal dinilai tidak lagi efektif.
“Biasanya penanganan eksternal dilakukan ketika debitur sudah menunggak angsuran lebih dari 2 bulan, tidak kooperatif saat ditangani pihak internal perusahaan pembiayaan, pindah alamat, unit dipindahtangankan, atau kendaraan tidak lagi dikuasai debitur,” ujarnya.
Zulham menegaskan profesi debt collector legal dan diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Aturan itu antara lain tercantum dalam POJK yang memperbolehkan perusahaan pembiayaan melimpahkan penagihan kepada pihak ketiga berbadan hukum dan bersertifikasi.
Namun, ia menolak tegas praktik penagihan yang mengandung unsur pidana.
“Kami tidak membenarkan tindakan intimidasi, perampasan, atau kekerasan. Itu pelanggaran hukum dan bukan bagian dari SOP penagihan,” katanya.
Di perusahaan yang dipimpinnya, Zulham menyebut penyerahan kendaraan harus dilakukan berdasarkan kesepakatan debitur atau pemakai unit dengan DC yang menangani.
Jika dalam proses penagihan ditemukan unsur paksaan atau pelanggaran hukum, pihaknya menolak menerima unit jaminan tersebut.
Zulham juga mengingatkan bahwa tingginya kredit bermasalah tidak hanya merugikan perusahaan secara finansial, tetapi juga berpotensi menimbulkan sanksi regulator dalam hal ini OJK.
“Perusahaan pembiayaan wajib menjaga rasio kredit bermasalah di bawah 5 persen dari pembiayaan yang sudah kucurkan kepada masyarakat, Kalau lebih dari 5%, bisa dikenai sanksi oleh OJK,” ujarnya.