feature

Tantangan dan Hambatan Pendakian Gunung Semeru dengan Keluarga 4, Istri Mendadak Datang Bulan  Nyaris Menye

Sabtu, 24 September 2022 | 08:50 WIB
PUNCAK : Mejadi Keluarga berdiri tertinggi di Pulau Jawa. DOKUMEN PRIBADI

Moment ini sangat menguras emosi, ketika istri sudah tidak sanggup lagi mendaki karena datang bulan disaat yang tidak tepat. Nyaris menyerah karena sumbilangen, bahkan memaki saya dan anak anak untuk meninggalkannya di jalur dan memerintahkan saya dan anak anak melanjutkan pendakian sampai puncak.

Laporan : Iqbal Muhammad, Kota Depok

Pancaran matahari pagi di ufuk timur sudah mulai nampak berwarna orange, sedikit demi sedikit langit yang gelap mulai terang. “Bun bangun bun, matahari udah muncul. Aa ade, ayo bangun kita lanjutin lagi ke puncak,” kata saya sambil membangunkan istri dan kedua anak saya.

Berat memang melanjutkan perjalanan setelah istirahat panjang, beruntung kedua anak saya tidak pernah mengeluh sedikitpun selama pendakian ke puncak Mahameru. Langkah demi langkah kita lalui bersama, langkah yang kerap kali merosot membuat emosi dan fikiran kita frustasi.

“Ayah duluan aja sama anak-anak, bunda udah ga kuat lagi,” kata istri saya.

Mendengar ucapan itu saya kaget bukan kepalang, tidak seperti biasanya istri saya menyerah seperti ini. Semeru bukan pendakian pertama untuk saya dan istri, beberapa gunung di Pulau Jawa dan NTB sudah pernah kita daki bersama seperti Gede Pangrango, Semeru, Rinjani, Argopuro, Lawu dan Raung.

“Puncak sudah kelihatan, sayang kalau tidak sampai puncak,” kata saya sambil melewati istri saya.

 Saya lanjutkan perjalanan dengan anak anak, sesekali saya menengok istri saya berharap melanjutkan pendakian. Saya perhatikan, beberapa kali istri saya memukul mukul pasir sambil mengumpat, dia berdiri dan kemudian berjalan melanjutkan perjalanan. “Ini baru istri gw yang tangguh,” dalam hati saya.

Saya coba menunggu istri saya yang tertinggal beberapa meter di bawah, dengan harapan kita bisa bersama sama menggapai puncak. Saat itu ketinggian sudah berada di 3400 Mdpl, bendera merah putih yang berada di puncak Mahameru sudah terlihat jelas.

Ditengah perjalanan,  Lagi lagi istri saya frustasi. “Ayah duluan aja, bunda sudah ga kuat, ga kuat yah,” kata istri saya sambil melambaikan tangan. “Lihat bunda bocor yah, dapet, perut sakit sumbilangen yah. Kamu duluan aja sama anak anak, bunda nyerah,” kata istri saya sambil menunjuk bercak yang ada di selangkangannya.

“Astagfirullohaladzim, sabar dan tabah bun. Inget janji kita sama anak anak, kalau kita bakal sama-sama ke puncak Semeru. Apa jadinya kalau hanya bertiga tanpa kamu ke puncak Semeru,” kata saya.

“Udah kamu duluan aja, duluaaaan,” sambil setengah berteriak ke saya. “Puncak sudah dekat,” kata saya sambil melewati istri saya. Saya tidak mau berargumen, karena saya sangat memahami penderitaan istri saya saat itu.

“Ayo A kita jalan,” kata saya ke Adam yang tidak mau jauh dari bundanya.

“AA nemenin bunda aja disini, Ayah sama Ade aja yang ke puncak,” kata Adam.

Saya hanya terdiam. “Sudah AA jalan aja sama ayah dan ade, biar bunda sendirian nunggu disini, sudah AA  jalan aja sama ayah cepeeet,” kata istri saya setengah membentak.

“Ayo A, kita jalan bunda aman ko disini,” kata saya, setelah melihat kondisi lingkungan disekitar istri yang aman.

Saya, Adam dan Rama jalan duluan, langkah saya sengaja diperlambat karena saya yakin istri saya bukan tipikal wanita yang mudah menyerah dengan keadaan.

Saya melihat kebawah, istri saya berusaha keras bangun dari duduknya, menahan rasa sakit di pinggul, kaki dan perutnya.

Sedikit demi sedikit istri saya melangkah mendaki, saya hanya diam dan duduk di tempat saja. Saya membiarkan istri melewati saya, dan berjalan sama Adam dan Rama, saya perhatikan langkah istri saya sambil memegang pinggul yang terasa sakit dan berkali kali meringis menahan sakit di perutnya karena datang bulan.

Saya terus berada di belakang istri saya, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut saya. Saya paham ketika kondisi istri yang begitu tersiksa dan memaksakan diri untuk melanjutkan perjalanan butuh ketenangan.

Saya tidak mau berdiskusi apapun seoalah olah memberikan semangat, karena saya tahu setiap apa yang keluar dari mulut saya dan istri merupakan energy yang dibuang. Sedangkan saat itu, saya membutuhkan energy yang besar, jadi lebih baik diam dan focus sama pendakian ke puncak Semeru.

Tepat pukul 7:30, Alhamdulillah kita sekeluarga sampai puncak Mahameru. Mungkin keluarga saya menjadi keluarga yang paling tinggi di pulau Jawa saat itu.

Bangga, haru dan sedih berkecamuk dalam hati. Saya menangis, sambil memeluk anak saya satu persatu kemudian istri saya seraya memohon maaf kalau keputusan saya muncak itu salah.

Angin di puncak Semeru sangat kencang, tidak banyak waktu kami di puncak, setelah selesai foto foto dan menikmati pemandangan menjadi orang tertinggi di pulau Jawa, kami bergegas turun dari puncak.

Khawatir jika terlalu siang, gas beracun dari kawah Gunung Semeru  muncul. Ya, gas beracun yang merenggut pendiri Mapala Universitas Indonesia Soe Hook Gie yang tewas di puncak semeru  16 Desember  1969. (bersambung)

Tags

Terkini