Senin, 22 Desember 2025

Guru Besar UIN Jakarta Ahmad Tholabi Karlie : SEMA Nikah Beda Agama Tak Cukup Tuntaskan Sengkarut Perkawinan

- Kamis, 20 Juli 2023 | 06:30 WIB
Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Karlie, ISTIMEWA
Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Karlie, ISTIMEWA

RADARDEPOK.COM-Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Karlie menilai, langkah MA menerbitkan Surat Edaran 2/2023 itu, tak cukup untuk mengakhiri sengkarut perkawinan lintas agama di Indonesia. Dia mengatakan surat edaran itu sejatinya cukup positif. Khususnya untuk supremasi UU 1/1974 tentang Perkawinan. Di dalam UU ini dinyatakan perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya. 

Hanya saja Tholabi menyebutkan surat edaran itu bukan berarti mengakhiri praktik pernikahan beda agama. Menurut dia, ruang perkawinan beda agama masih tetap tersedia dengan keberadaan Pasal 35 huruf (a) di UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang dilandasi spirit pemenuhan hak administrasi warga tanpa praktik diskriminatif. “Realitas ini harus diselesaikan melalui harmonisasi antar-norma di sejumlah peraturan perundang-undangan. Jadi, SEMA saja tidak cukup,” kata pria yang juga menjadi Wakil Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu. 

Tholabi menyebutkan pertentangan antarnorma di UU Perkawinan dan UU Adminduk ini harus diselesaikan dengan melakukan harmonisasi keduanya. Langkah ini diyakini akan mengakhiri sengkarut praktik pernikahan beda agama.

Dia menyebutkan dalam kenyataannya terdapat ambiguitas norma antara hukum perkawinan dan hukum administrasi, termasuk putusan hakim terdahulu. “Ambiguitas ini harus dituntaskan dengan tetap  berpegang pada konstitusi yang mengatur soal agama dan HAM yang khas Indonesia,” tandas Tholabi.

Di bagian lain Wakil Dekan 1 Fakultas Syariah UIN Sunan Maulana Hasanuddin Banten M. Ishom el-Saha mengatakan ada sejumlah alasan penolakan kawin atau nikah beda agama. "Diantaranya terdapat larangan kawin yang dianut di semua agama di Indonesia," jelasnya. Dia menegaskan tidak hanya di Islam, semua agama melarang perkawinan antara calon suami dan istri yang berbeda agama dan keyakinan. 

Maka ketika akhir-akhir ini sering lahir penetapan pencatatan perkawinan pasangan beda agama dari pengadilan, langsung menjadi sorotan masyarakat luas. Menurut dia, dari kejadian pengesahan nikah beda agama itu, masyarakat banyak beranggapan sebagai degradasi hukum perkawinan di Indonesia. Penetapan permohonan pencatatan kawin beda agama oleh hakim pengadilan, dinilai masyarakat bukan menjadi terobosan atau solusi atas kebuntuan hukum.

Baca Juga: Cara Berbakti kepada Orang Tua yang Telah Meninggal Dunia, Pintu Taubat Masih Terbuka

"Akan tetapi menjadi preseden buruk bagi pranata hukum perkawinan di Indonesia," jelasnya. Persepsi masyarakat tersebut dapat dimaklumi karena keberadaan hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku secara pluralistik.

Ishom mengatakan di tengah-tengah masyarakat masih terdapat hukum perkawinan yang hidup, seperti hukum agama dan hukum adat. Bahkan di dalam hukum formal juga terdapat aturan hukum lain yang pluralistik selain UU Perkawinan. Di antaranya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Di mana salah satu pasalnya, yaitu pasal 34, mengatur juga hukum pencatatan perkawinan dan bahkan memberikan jalan keluar secara eksplisit perkawinan antar-umat yang berbeda agama.

Selain itu juga ada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2016 tentang tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran. Aturan ini memberi ruang dua orang yang menikah tidak tercatat dapat menyatukan diri dalam satu Kartu Keluarga dan di KTP-nya tertulis berstatus ‘kawin’ dengan hanya bermodal Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM).

Dia menjelaskan, masyarakat beranggapan kebijakan yang mendegradasi UU Perkawinan itu, dikhawatirkan akan semakin menyuburkan praktik kawin sirri atau kawin liar. Masyarakat menilai dengan adanya UU Administrasi Kependudukan, urgensitas buku nikah sudah tidak penting lagi. Karena segala layanan kependudukan tetap dapat dinikmati meskipun tidak memiliki Buku Nikah. (wan)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Jangan Malas! Ayah di Depok Diminta Ambil Rapor Anak

Jumat, 19 Desember 2025 | 06:30 WIB

Buruh di Depok Ingin UMK Naik 6,5 Persen

Kamis, 18 Desember 2025 | 07:30 WIB

BPN Depok Sematkan Pin Emas Kepada Kejari

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:30 WIB
X