RADARDEPOK.COM - Kasus asusila yang dilakukan oknum DPRD Depok, ternyata ada menemui jalan buntu. Sejauh ini pidana kesusilaan dinilai tidak bisa jalan damai.
Praktisi dan Akademisi Hukum, Andi Tatang mengatakan, dalam proses penegakan hukum terdapat penyelidikan untuk mencari ada tidaknya tindak pidana, kemudian dilanjutkan dengan proses penyidikan.
“Artinya dalam proses penyidikan, penyidik mencari alat bukti untuk membuat terang dan jelas peristiwa pidana, sekaligus menemukan dan juga menentukan tersangkanya. Dimana berdasarkan Pasal 1 angka 14 menyatakan, tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana,” jelas Andi Tatang.
Baca Juga: Lion Air Jadi Maskapai Layanan Haji Dinilai Syarat Kepentingan, Ini Alasannya
Andi Tatang menuturkan, dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa atau tersangka.
“Jadi untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka haruslah didapati bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 jenis alat bukti dan ditentukan melalui gelar pekara. Berarti secara hukum suatu peristiwa pidana baru dapat ditetapkan tersangka setelah ada sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang cukup dan alat bukti tersebut merujuk pada seseorang yang dinyatakan kemudian sebagai tersangka,” terang Andi Tatang.
Andi Tatang mengungkapkan, jika seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka keberatan atas penetapannya dengan alasan terdapat dugaan manipulasi atau rekayasa, maka pihak yang bersangkutan dapat melakukan upaya hukum Praperadilan.
Baca Juga: Buntut Banyak Penembakan! Menteri HAM: Evaluasi Total Penggunaan Senpi
“Namun Praperadilan tidak menyediakan ruang bagi penghentian penegakan hukum atas peristiwa tindak pidana yang diselesaikan dengan jalur perdamaian,” tegas Andi Tatang.
Andi Tatang mengatakan, dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif, menegaskan pada Pasal 5 huruf a dan b menyatakan syarat materil dilakukannya keadilan restoratif yaitu tidak menimbulkan keresahan dan atau penolakan dari masyarakat atau tidak berdampak konflik sosial.
“Pencabulan terhadap anak dikategorikan sebagai tindak pidana kesusilaan yang saat ini meresahkan masyarakat dan berdampak pada konflik sosial. Artinya jenis tindak pidana kesusilaan ini tidak dapat dilakukan Restorative Justice,” ungkap Andi Tatang.
Baca Juga: Dugaan Kasus Asusila Anggota DPRD Depok RK Melebar ke Internal Partai, Ibu Korban Curhat Begini!
Soal sudah adanya klaim penyelesaian damai dugaan kasus perbuatan asusila tersebut, Andi Tatang dengan rinci membeberkan pandangan logika hukumnya.
Jika seseorang (pelaku) menyatakan telah berdamai dengan pihak korban atas suatu peristiwa, berarti para pihak menyadari telah terjadi suatu peristiwa tersebut tanpa bisa diingkati oleh satu dan lain pihak.
“Namun penyelesaian dengan berdamai hanya dapat dilakukan terhadap perkara pidana ringan atau tertentu, itu tertuang di Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Jadi tidak dapat diberlakukan untuk tindak pidana berat atau tindak pidana khusus termasuk pencabulan terhadap anak,” tandas Andi Tatang.***