RADARDEPOK.COM - Tulisan ini sebenarnya sudah saya buat sejak Oktober 2019. Namun, karena beberapa hal saya baru memberanikan diri mempublikasikan pengalaman saya, dan keluarga mendaki gunung Semeru.
Salah satu sahabat saya yang bekerja di salah satu stasiun TV di Indonesia ingin mempublikasikan cerita saya mengajak istri dan anak anak saya yang masih berumur 10 dan 11 tahun Mendaki Gunung Semeru, setelah dia melihat di media sosial pribadi saya. Tapi setelah membaca tulisan ini dia mengurungkan niatnya karena ada beberapa hal.
Seperti apa pendakian saya dan keluarga mendaki Gunung Semeru 3 tahun yang lalu.
Iqbal Muhammad, Kota Depok
“Bang di IG (intagram) lagi rame Gunung Semeru kebakaran di Kalimati menuju puncak,” kata Fidel sambil menunjukan postingan di IG saat perjalanan menuju Malang menggunakan Kereta Jayabaya, Rabu (11/9/2019) malam “Ah itu mah postingan lama,” sahut saya, berusaha menyenangkan diri.
Postingan itu benar benar menghancurkan asa keluarga saya untuk menggapai Mahameru (Puncak Gunung Semeru), anak saya M Iqsan Maulana Bayu Adam (11) dan M Wikrama Dainendra Raditya (10) terlihat sedih.
Berkali kali nanya, “Kita ga bisa sampe puncak dong yah, kan kebakaran,” tanya Rama dan Adam berkali kali sepanjang perjalanan.
“Insyaallah kita bisa sampai puncak Mahameru, udah kamu istirahat aja udah malem,” kata saya untuk menjaga asa itu tetap ada.
Postingan kebakaran hutan di Kalimati mengingatkan saya pada tahun 2016 lalu, saya dan keluarga pernah mendaki Semeru, tapi hanya sebatas sampai Ranu Kumbolo yang fenomenal itu.
Itu pun banyak hambatannya, karena usia Adam dan Rama belum genap 10 tahun, petugas melarang kita sekeluarga mendaki karena batas minimum pendaki 10 tahun.
Saya coba berkali kali meyakinkan petugas kalau perlengkapan untuk mengantisipasi dinginnya Ranu Kumbolo yang saat itu mencapai -5 derajat celcius sudah kami siapkan. Tapi upaya itu gagal, petugas tetap tidak mengijinkan keluarga saya mendaki.
Saat itu Adam dan Rama sangat sedih, air matanya menetes dan berkali kali nanya, “Yah ga bisa naik gunung ya,” kata Rama yang saat itu berusia 7 tahun. “Kita tetap mendaki sayang, sudah kamu ga usah nangis, apapun caranya kita tetap mendaki,” tegas saya meyakinkan Rama di depan petugas pos yang melarang keluarga saya mendaki.
Saking kekeuhnya saya ingin mendaki, petugas itu memberikan clue “Kalau abang mau mendaki silahkan saja, tapi kalau lewat jalur sini, saya tidak akan mengijinkan,” katanya tegas. “Okeh klo gitu saya lewat jalur lain,” kata saya ke petugas itu.
Saat itu saya memutuskan untuk tetap mendaftarkan diri di Pos Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), saya, istri, Mas Heri dan putrinya mendaftar dan mengikuti briefing untuk mengetahui karateristik Semeru oleh petugas. Sedangkan Adam dan Rama tidak bisa di daftarkan.
Setelah briefing, kita mengikuti Porter yang sengaja kita sewa untuk membawa peralatan dan logistic melalui jalur Ayak Ayak. Jalur yang biasa digunakan para porter dan tidak direkomendasikan sebagai jalur umum karena dinilai ekstreem.
Perjalanan dari Ranu Pane menuju Ranu Kumbolo melewati jalur Ayak Ayak ditempuh dalam waktu 5 jam, itu pun kami sekeluarga berjibaku dengan tanjakan yang lumayan terjal selama pendakian, belum lagi debu yang kerap kali menghambat saluran pernafasan.
Bagi saya seorang ayah hal yang paling menyakitkan adalah melihat anak sedih karena asa nya pupus, dan paling bahagia melihat anak tersenyum lebar dan bahagia memiliki pengalaman baru yang tidak akan pernah dilupakan.
“Yah kereen banget pemandangannya kaya lukisan,” kata Rama ketika tiba di Ranu Kumbolo. “Iya yah kereen banget,” timpal Adam.
https://www.youtube.com/watch?v=LD--JNwleWg&t=272s
Keesokannya setelah menikmati keindahan Ranu Kumbolo dan Tanjakan Cinta yang juga sangat fenomenal itu, kita beranjak pulang ke Ranu Pane. Puncak Mahameru terlihat jelas dari lembah savanna menuju jalur Ayak Ayak. “Nanti ade sama AA harus ke puncak Mahameru Yah kalau udah 10 tahun,” kata Rama sambil melihat puncak Mahameru kala itu.
Setibanya di Malang, Kamis (19/9/2019) pukul 03:00, kabar buruk kembali didengar. “Wah mas sekarang pendakian Semeru hanya sampai Ranu Kumbolo,” kata Pak Supri, supir angkot yang sudah dipesan oleh Mas Heri (saudara saya yang tinggal di Malang) untuk menjemput.
“Serius mas,” timpal saya. “Iya mas, kebakaran hutan di Kalimati dari tanggal 16 september. Tapi info siang ini sudah padam,” katanya.
Mendengar kabar buruk dari Pak Supri, nampak jelas kekecewaan Adam sama Rama, wajah kecewanya persis ketika petugas Jaga di Pos Ranu Pane tidak mengijinkan kita mendaki pada 2016 lalu.
“Yah, ga bisa sampe puncak ya,” kata Rama, sedangkan Adam hanya tertunduk lesu tanpa semangat. “Kita lihat aja nanti, kalau Allah mengijinkan kita ke Puncak kita pasti ke puncak, tapi kalau Allah ga ngijinin, itu yang terbaik buat kita. Aa sama Ade berdoa aja supaya allah mengijinkan kita ke puncak,” kata saya disambut anggukan kepala mereka berdua.
Bukan hanya Adam dan Rama saja yang kecewa, saya dan istri Ina Rosdiana juga kecewa. Bukan perkara mudah menyiapkan pendakian ke puncak Semeru sekeluarga. Komitmen untuk melakukan pendakian ini sudah dilakukan dua bulan sebelum perjalanan.
Kami sekeluarga dipaksa melatih fisik, seminggu empat kali saya jogging setelah mengantar anak anak sekolah. Adam dan Rama juga melakukan itu sepulang sekolah, belum lagi latihan silat Merpati Putih seminggu dua kali. Sedangkan istri saya harus merogoh kocek lebih dalam buat latihan fisik di tempat fitness salah satu Mall terbesar di Cibinong.
Informasi dari Pak Supri itu tidak mengkandaskan keinginan kami sekeluarga dan para sahabat untuk medaki Gunung Semeru yang merupakan gunung tertinggi di pulau Jawa dengan ketinggian 3676 Mdpl.
Setibanya di rumah Mas Heri, tim yang berjumlah 10 orang terdiri dari Saya, Ina Rosdiana (istri), Adam (anak), Rama (anak), Arlan Yudi, Elviro Pratama (Kopdar), Rizki Muhammad (Kondor), Mohamad Tsabit (Oleng), Fidel Akbar dan Rizky Afrialdi (Kidoy) melakukan packing ulang. Beberapa barang yang tidak dibutuhkan ditinggal di rumah Mas Heri, dan pembagian peralatan lebih dimaksimalkan lagi. (bersambung)