RADARDEPOK.COM - Pendakian Gunung Semeru dengan Keluarga ini sangat menguras energi, emosi dan kecemasan yang sangat tinggi. Jalur pendakian masih berasap sisa kebakaran hutan di Kalimati, belum lagi temperatur udara yang sangat dingin mencapai 4 derajat celcius dan hembusan angin yang sangat kencang.
Laporan : Iqbal Muhammad, Kota Depok
Karena hari sudah mau gelap, Arlan, Idoy dan Oleng mengambil air di sumber Mani yang jaraknya sekitar 500 meter dari Pos Kalimati.
Sumber Mani merupakan satu satunya sumber air di pos Kalimati, bukan hanya sumber air bagi para pendaki, tapi juga sumber air bagi hewan di sekitarnya bahkan binatang buas akan mencari air ke Sumber Mani.
Jadi, Arlan Idoy dan Oleng harus bergerak cepat mengambil air, karena resikonya bisa ketemu si kumbang sedang minum kalau matahari sudah hilang.
Kopdar menyiapkan makan malam, sedangkan saya sibuk melayani anak anak supaya bisa tidur nyenyak.
Beruntung rombongan Sumsel ada pendaki wanita yang sudah membangun tenda dalam pos, kedua anak saya dan istri bisa ikut istirahat dalam tenda yang tentunya pasti hangat.
Sebenarnya membangun tenda dalam pos Kalimati dilarang, namun karena urgent hal itu sangat dimungkinkan.
Usai menyantap makan malam, semua pendaki di pos Kalimati istirahat dan sebisa mungkin tidur. Tepat pukul 23:00, beberapa pendaki sudah menyiapkan makanan dan minuman hangat persiapan mendaki puncak semeru.
Adam dan Rama yang sudah bangun pun ikut bersiap siap, saya mencoba memastikan Adam sama Rama hangat dalam perjalanan dan headlamp yang dipakai tidak masalah.
Setelah memastikan anak anak, saya berdiskusi kecil sama istri. “Siap ya bun, yakin kita bisa sampai puncak,” kata saya meyakinkan istri saya yang masih tampak ragu. “Insyaallah yah,” jawab istri saya.
Waktu menunjukan pukul 00:00, seluruh pendaki dari Sumsel, Sidoarjo, Sumut dan Bogor berkumpul menjadi satu di luar pos Kalimati yang dinginnya mencapai 8 derajat celcius.
“Sebelum kita memulai pendakian, kita berdoa menurut kepercayaan dan keyakinannya masing masing, berdoa mulai,” kata Arlan mengawali doa.
Barisan keluarga saya berada di tengah-tengah rombongan, istri saya berada di depan, dilanjut Rama, Adam dan kemudian saya. Berjalan setapak demi setapak di kegelapan malam, bau kayu terbakar sisa kebakaran hutan sangat menyengat hidung.
Penutup hidung yang terpakai pun tidak mempan untuk menghilangkan bau asap kayu yang terbakar.
Pendakian semakin jauh, beberapa pendaki terseleksi dalam barisan sesuai kemapuan fisiknya. Anak kedua saya Rama sudah jauh duluan bersama Arlan, sedangkan saya selalu setia berada di belakang istri dan anak pertama saya Adam.
Setelah melewati batas vegetasi, medan pendakian semakin berat. Jalur yang kita lewati pasir yang sangat gembur dengan kemiringan mencapai 70 derajat.
Setiap kali kita melangkah pasti merosot lagi kebawah dan begitu seterusnya. Perbandingannya, 5 langkah kaki kita hanya bisa menghasilkan 1 langkah.
Dengkul ini terasa tersiksa sekali, belum lagi nafas yang tersengal sengal karena berada di ketinggian 3100 Mdpl dengan kadar oksigen yang tipis, ditambah lagi suhu ekstreem yang mencapai 4 derajat celcius. “Diam salah, bergerak capek,” dumal saya dalam hati.
Anak bungsu saya Rama yang jalan duluan dengan Arlan nampak lelah sekali, dia tertidur sambil menggigil menunggu saya, istri dan Adam.
“Ade nungguin lu bro, dia kecapean. Udah istirahat aja dulu sampe matahari terbit. Gw nyusul Oleng di depan,” kata Arlan.
“Ade…Ade..bangun de, ayo kita jalan lagi cari tempat yang nyaman untuk istirahat,” kata saya sambil membangunkan Ade Rama di kegelapan malam.
SEbelum melanjutkan, saya membuka oksigen yang sengaja saya bawa, satu per satu oksigen dihisap oleh keluarga saya dengan harapan bisa memulihkan kondisi fisik dan menambah konsentrasi dalam perjalanan.
Rama bangun, tidak banyak bicara dia melanjutkan perjalanan dengan tertatih tatih bahkan cenderung merangkak. Istri saya juga sudah mulai frustasi, tampak lelah dan menyesali dirinya ikut pendakian.
“Kata bunda juga apa jangan dipaksa, begini kalau dipaksa,” ketus Istri saya kepada saya. “Sabar dan tabah aja bun sampai puncak, ini resiko pendakian ke semeru,” kata saya menenangkan istri saya.
Setelah berjalan beberapa meter, ada sebuah gundukan pasir yang cocok dijadikan tempat istirahat karena bisa menghalau angin dari arah atas.
“Kita istirahat disini bun,” kata saya dengan nada pelan. Anak saya Rama di posisi paling ujung, kemudian istri saya, diapit oleh Adam kemudian saya. Saya langsung mengeluarkan emergency blangket untuk melawan dingin yang mencapai 4 derajat celcius. “Sudah tidur dulu aja, sampai mataharti terbit,” kata saya.