Di pojok sisi barat, ada mixmedia yang digantung. Kayu-kayu bekas disusun seperti jam dinding. Di bagian atas, ada tulisan 1312. ”Itu adalah kode ACAB. Bentuk protes kepada polisi,” beber Dapeng.
Di bagian tengah, ada angka 135. Jumlah korban tragedi Kanjuruhan. Di bawahnya, ada stiker: fragile, handle with care. ”Apa maknanya? Itu adalah sindiran kepada para penegak hukum kita. Bahwa kasus ini itu fragile atau rentan. Jangan dikerasi, nanti takut ada apa-apa,” katanya.
Artinya, perkembangan penanganan hukum terkait tragedi Kanjuruhan sangat sensitif. Padahal, di sisi lain, lanjut pria yang punya nama panggung Dapeng Gembiras itu, ada 135 korban nyawa.
Di sisi timur, ada foto-foto yang ditempel. Ukurannya kecil, 10 x 15 sentimeter. Dijejer dengan berbagai artikel lawas sejak awal 2000-an. Total ada 30 foto dan artikel yang dipajang. Semua menceritakan soal laga derbi Jawa Timur: Arema vs Persebaya.
Semua koleksi itu milik Arief Wibisono. Dalam salah satu foto lawas yang diambil di Stadion Gajayana, Kota Malang, ada suporter yang mencoba turun. Pihak keamanan menyemprotkan air dari mobil pemadam kebakaran. Dari situ, Bison, sapaan akrab Arief Wibisono, mulai sadar.
”Bahwa dulu (pengamanan suporter) pakai air. Sekarang pakai gas air mata. Ini seperti sebuah kemunduran,” terang Bison.
Di bagian poster, ada foto personel kepolisian. Dia memegang senapan gas air mata. Wajahnya tampak jelas. Di bawahnya diberi tulisan ”Man of the match of brutality”.
Personel kepolisian itulah, kata Dapeng, yang membuat sila kelima tadi susah diterapkan. Sampai saat ini, dia tidak ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, wajahnya terpampang jelas.
Di antara poster dan lukisan tengkorak kuning, dinding dibiarkan memutih. Di bawahnya, ada 26 abjad dari kayu. Ada tinta warna-warni di sampingnya. ”Itu adalah dinding kreasi. Pengunjung bisa menulis unek-unek apa saja di dinding tersebut,” beber Dapeng.
Sudah ada beberapa cap di tembok: freedom, #UsutTuntas, hingga 135 nyawa. Anas Fadhil, salah seorang pengunjung, turut memberikan cap di tembok itu.
”Selama ini (protes) yang kami tahu hanya demo dan turun ke jalan. Ternyata ada perspektif lain yang bagus untuk mengkritik, yaitu melalui seni,” kata mahasiswa semester III Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya itu.
Dapeng memastikan aksi ”Menyerang Kota” tidak akan diam di tempat. ”Seni itu bisa dilakukan di jalan-jalan. Kami bisa saja melanjutkan protes melalui seni di luar sana,” ujar pria asli Sawojajar, Kota Malang, itu.
Dapeng tidak tahu apakah aksi tersebut bisa sampai ke telinga para pemangku jabatan. Setidaknya dia dan kawan-kawan sudah mencoba. Satu hal yang dia yakini dan itu disampaikan dalam banner yang ditulis dan dipajang di gedung dua DKM: Semua kejahatan pasti akan terbongkar! (*/JWP/NET)