Minggu, 21 Desember 2025

Gunung Salak yang Bengis (1) Pengalaman Mendaki Gunung Salak Yang membuat Ragu untuk Mendaki Sama Anak

- Selasa, 31 Januari 2023 | 20:57 WIB
Gunung Salak dari Kejauhan
Gunung Salak dari Kejauhan

AJAKAN mendaki Gunung salak sebenarnya sudah dari awal tahun 2020 setelah kita mendaki Gunung Pangrango Desember tahun lalu. Agak sedikit ragu sebenarnya untuk mendaki Gunung yang memiliki ketinggian 2187 Meter Diatas Permukaan Laut (MDPL) apalagi mendakinya bareng sama kedua anak laki laki saya, Muhammad Iqsan Maulana Bayu Adam (12) dan Muhammad Wikrama Dainendra Raditya (11).

Laporan Iqbal Muhammad

Bayang bayang kengerian pengalaman mendaki Gunung Salak seringkali terlintas. Ya pengalaman mendaki gunung yang terkenal dengan misteri dan medannya yang cukup berat. Pertama kali mendaki Gunung yang berada di dua wilayah pemerintahan yaitu Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi tersebut pada tahun 1999 ketika saya duduk di bangku kelas 3 SMA dulu.

Baca Juga :Tantangan pendakian Gunung Semeru dengan keluarga (1) kabar kebakaran hutan di kalimati yang membuat cemas


Saat itu saya dan kelima rekan saya yang sedang merintis organisasi Siswa Pecinta Alam, mendaki bareng dengan beberapa siswa dari SMAN 4 Bogor. Pendakian 20 tahun lalu dimulai pukul 21:00 melalui jalur Kalimati sebelum Curug Nangka (saya lupa tanggal berapa), setelah melewati perkebunan pisang, kita memasuki Kalimati yang mulai memasuki hutan Gunung Salak.
Saya berjalan ke 3 dari belakang, di belakang saya ada Indra dan Puji sahabat saya. Dipertengahan jalan ada teriakan “breeeaaak”, beberapa rekan saya meminta istirahat tanpa jelas apa alasannya. Tanpa saya sadari, di sebelah saya ada seorang pria yang duduk jongkok dengan menutup wajahnya di kedua belahan dengkulnya. Pria itu menggunakan celana pangsi hitam, kaos putih dan selempangan kain sarung dibadannya. Saya berkali kali memanggil “Kek ngapain di sini gelap gelapan,” kakek yang jongkok disamping saya tidak merespon, saya penasaran memanggil lagi. “Kek ngapain disini malem malem,”.
Tiba-tiba teman saya dari belakang Indra, menepuk bahu saya. “benk, sia nyalukan saha,” tanya Indra. “Iyeu le, aki aki gigireun urang, ek nanaonan peuting peuting kieu di leweung,” jawab saya tanpa ada rasa takut sedikitpun.
“Lu yang bener aja, mikir atuh benk mana ada aki aki di leuweung tengah peuting. Istigfar benk,” bisik Indra ke telinga kanan saya. Seketika itu saya baru sadar, bahwa laki laki yang jongkok tepat disamping kanan saya tidak lumrah, bulu kuduk saya langsung merinding walaupun telat, rasa takut mulai menghinggap. Beberapa kali saya teriak “ayo jalan, ayo jalan” teriak saya setengah panic.
Setelah memasuki pos 1, kita semua istirahat sambil menunggu matahari terbit. Tidur dengan alas matras dan sarung sebisa mungkin mencoba untuk tidur walau pada akhirnya saya tidak bisa tidur. Saya masih membayangkan jika saja laki laki yang jongkok samping saya itu berdiri dan menunjukan mukanya “ngeriiiiii”.
Keesokan paginya, setelah sarapan kita mulai melanjutkan pendakian hingga di pos 6. Pos 6 satu satunya lokasi yang memiliki lahan luas untuk mendirikan tenda. Saat itu belum ada tenda dum, dulu saya masih menggunakan terpal yang di bentuk segitiga. Setelah menuntaskan hingga puncak gunung Salak 2, kita bermalam di Pos 6 untuk istirahat.
Hari sudah mulai gelap, saya duduk di ujung tenda yang menghadap langsung ke jalur yang penuh dengan akar. Canda tawa mewarnai waktu malam kami, apalagi Iwok sahabat saya yang jago masak itu. Dia memamerkan kemampuanya memasak hingga penggorengannya keluar api.
Ditengah canda tawa, saya melihat kearah jalur pendakian yang gelap itu, saya merasa ada gerakan di jalur pendakian itu. Saya mencoba untuk melupakan gerakan apa itu di jalur pendakian, tapi lagi lagi hasrat saya ingin melihat ke jalur begitu kencang, saya coba mengambil senter dan menerangi jalur, “Apaan sih itu yang gerak gerak, mungkin ada musang atau ayam hutan,” pikir saya dalam hati. Untuk kedua kalinya saya abaikan.
Lagi lagi rasa penasaran saya memuncak, saya mencoba memberanikan diri kembali menyenter jalur pendakian, dan saya amati agak lama apa itu yang bergerak di jalur sampai-sampai mata saya mengerenyit berusaha untuk focus penglihatan saya.
“Astagfirullohaladzim,” teriak saya sambil menutup terpal. “Kunaon benk” tanya Ansah, Sahabat saya. “eweh nanaon sah,” jawab saya. Pikiran saya berkecamuk, apakah penglihatan saya salah atau benar, atau mungkin saya sedang berhalusinasi. Saya melihat SENDSAL JEPIT sebelah kanan bergerak jalan menuju arah tenda. Pikiran saya kalut, takut tapi tidak mau menceritakan apa yang saya liat tadi, khawatir malah menambah kepanikan teman teman saya. Saya berusaha melupakan, saya pindah tempat duduk, dan memilih di tengah. Berbatang batang rokok saya habiskan, setelah kantuk mulai mendera, saya coba istirahat dan tidur walau lagi lagi saya tidak bisa tidur masih terus membayangi peritiwa Sendal Jepit tersebut.

Baca Juga :Menikmati Indahnya Danau Ranu Kumbolo


Keesokan paginya, saya bangun paling pertama dibandingkan teman teman saya, itupun karena saya tidak bisa tidur. Saya keluar tenda, tepat di atas tenda ada burung gagak berwarna hitam pekat. “Innalilahi burung kematian,” dalam benak saya yang masih SMA itu. Sekitar pukul 10:00, kita mulai turun gunung.
Itu peristiwa pertama saya di Gunung Salak, Pengalaman kedua di Gunung Salak terjadi di tahun 2002 lalu. Saat itu saya sedang kuliah di IISIP. Saya kedatangan tamu pendaki dari Purwokerto, Sutrisno namanya. Saya kenal dengan dia ketika mendaki ke GUnung Semeru pada 2001, saat itu kita tukeran nomor telp. Trisno juga mengungkapkan keinginnannya main ke Bogor untuk mendaki Gunung Salak, Gede dan Pangrango.
Singkat cerita saya dan Trisno mulai berjalan ke Gunung Salak sekitar pukul 22:00 dari rumah saya di Ciapus Tamansari, melalui jalur yang sama waktu saya mendaki tahun 1999 lalu. Ketika memasuki hutan setelah melewati Kalimati, saya dan Trisno istirahat dan duduk di sebatang kayu sisa pohon rubuh di pinggir jalur. saya bakar rokok, mematikan headlamp saya. Gelap sekali tidak ada cahaya sedikit pun selain cahaya bara api kita berdua.
Baru saja, saya sedot rokok Gudang Garam Filter saya, bulu kuduk saya merinding. Ada sesuatu yang mencoba masuk ke raga saya, terasa sekali roh saya ingin keluar dari raga saya. “Astagfirullohaladzim” ucap saya dalam hati. Saya lanjutkan istirahat dan merokok, namun desakan sesuatu ingin masuk keraga saya semakin kuat, lagi lagi saya beristigfar. Namun untuk ketiga kali nya, desakan sesuatu untuk masuk keraga saya sangat kuat sekali, sampai sampai mata saya hanya melihat keatas dan gelap, saya loncat dan berteriak “Astagfirullohaladzim” kata saya. Kontan Trisno kaget bukan kepalang “Ada apa mas,” tanya kesaya. “Ga ada apa-apa ayo kita lanjutkan lagi perjalanan,” kata saya sambil menyalakan headlamp. “Gila kalau gw ga waspada, mungkin gw kesurupan dan bisa hilang di Gunung Salak. Mungkin banyak korban yang hilang di Gunung Salak kaya begini kejadiannya,” tanya saya dalam hati sambil berjalan.
Kejadian yang kurang mengeanakan lagi, ketika saya liputan jatuhnya pesawat Cassa milik TNI AU pada 2010 lalu, ada 16 orang meninggal dunia tanpa bentuk. Saat itu, saya ditugaskan oleh redaktur pelaksana, Faturachman S Kanday kalau malam itu juga saya harus mencari pesawat yang jatuh sama fotografer Radar Bogor Kelik. “Pokonya gw ga mau tau, lu sama kelik harus naek malam ini. Supaya besok pagi sudah ada dilokasi jatuhnya pesawat,” ketus Fatur di ujung Telpon. “Ok siap mas, gw ajak penduduk local ya,” sahut saya ke mas fatur via telp.
Nekat, berangkat ditemani dengan enam penduduk local kita menuju lokasi jatuhnya pesawat cassa. Kita terabas hutan, karena jalur resmi sudah ditutup sama aparat. Bahkan, agar kita tidak ketahuan sama aparat, lampu senter yang kita pegang terpaksa harus dimatikan. Bayangkan, kita berjalan gelap gulita di tengah hutan, hanya ada cahaya bulan yang sayup sayup dari celah pepohonan rimbunnya Gunung Salak. Tidak jarang saya dan kelik terjerembab dan jatuh karena tersandung akar dan batu karena berjalan dalam kegelapan.
Memasuki hutan, berkali kali saya dengar rintihan kesakitan, belum lagi ada yang berteriak “toloooong…tolooong,” dari jarak yang begitu dekat dengan telinga. Kontan saya bilang, “kang itu ada yang minta tolong, ayo kita kesana,” kata saya ke penduduk local. “Sabar kang, istigfar itu bukan siapa –siapa. Kita harus selalu waspada,” kata penduduk local yang menemani saya.
Tidak lama kita istirahat, suasana mencekam, semakin mencekam ketika penduduk local itu membakar sesajen. Bau menyan terbakar begitu menyengat. Nampak dari kejauhan ada 3 cahaya, seperti cahaya obor yang terbang kesana kemari. “Kang itu apaan, kaya cahaya obor,” kata saya. “Bukan apa-apa,” singkatnya sambil menatap tajam kesaya. “Okeh,” jawab saya memahami tatapannya.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X