Dengan begitu, bisa dikelola dan dipupuk dalam instrumen investasi oleh manajer investasi profesional. Yang tidak kalah penting, dana iuran peserta tapera juga akan selalu diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara reguler.
Saiful mengingatkan, program tapera bukanlah kebijakan baru. Sebab, hal itu sudah ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016. Karena itu, tidak ada kaitan antara upaya pemerintah mengumpulkan penerimaan negara dengan tapera.
Baca Juga: Manfaat Tapera Dinilai Tidak Maksimal: UU Harus Direvisi, Ubah Kepesertaan Jadi Sukarela
Dia menjelaskan, ada tiga skema pengelolaan dana tapera yang dilakukan BP Tapera. Pertama, dana modal kerja bagi BP Tapera diberikan pemerintah melalui APBN 2018 senilai Rp 2,5 triliun. Dana tersebut dialokasikan guna memenuhi biaya operasional berbagai program serta investasi BP Tapera.
Kedua, BP Tapera melakukan pengalihan dana kelola dari Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS). Ini karena Bapertarum-PNS telah berhenti beroperasi sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016.
Dana aset Bapertarum-PNS yang dialihkan ke BP Tapera pada 2018 mencapai Rp 11,88 triliun. ’’Dana peserta ASN eks Bapertarum-PNS saat ini belum dilanjutkan karena peraturan menteri keuangan (PMK) belum dikeluarkan,’’ ujarnya.
Baca Juga: Penerapan KRIS di 38 Faskes Depok Tunggu Permenkes, Kelas 1 Sampai 3 Masih Berlaku
Ketiga, BP Tapera memperoleh dana fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dari APBN pada 2010 hingga kuartal I 2024. Pihaknya mencatat, total dana FLPP yang diterima oleh BP Tapera mencapai Rp 105,2 triliun.
’’APBN setiap tahun, paling tidak sampai 2024, mengalokasikan sebagian dari investasi FLPP (ke BP Tapera), yang diharapkan bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam bentuk rumah murah,’’ jelas Saiful.
Terpisah, anggota DPR dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama mengatakan, masalah tapera sebenarnya bukan soal sosialisasi. Melainkan terlalu lamanya pengundangan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera. Delapan tahun setelah diterbitkan, baru dibuat PP pada 2020 dan 2024.
’’Dan akan menunggu lagi peraturan menteri ketenagakerjaan. Sebab, situasi perekonomian masyarakat saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan saat UU Tapera ini dibahas,’’ terangnya.
Padahal, kata Suryadi, UU tentang Tapera pada 2016 lalu mendapat dukungan dari berbagai organisasi buruh. Misalnya, Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI). Bahkan, Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) diundang dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) DPR pada 23 November 2015.
Saat ini, lanjut dia, sudah terlalu banyak potongan gaji pekerja. Misalnya, BPJS Kesehatan memotong gaji 1 persen, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiun 1 persen, jaminan hari tua 2 persen, belum lagi PPh 21 atau pajak penghasilan pasal 21 yang memotong 5–35 persen sesuai penghasilan pekerja. ’’Potongan gaji pekerja dengan label wajib di atas semakin menambah trauma para pekerja,’’ tegas Suryadi.
Artikel Terkait
Siap-siap, Gaji Ke-13 Cair Bulan Depan
Kuasa Hukum Pegi Bakal Ajukan Praperadilan, Kriminolog Pertanyakan Hilangnya Dua Buron
Calon Walikota Depok Supian Suri Bakal Majukan Budaya, Begini Caranya!
Hore! UKT UI Batal Naik, Ini Kata Menteri Nadiem
Pakar Hukum Sebut Memang Ada Masalah Jika Jaksa Jadi Penyidik Kasus Tipikor
Keras, Sahabat Idris Berikrar! Berjuang Kerahkan Kemampuan Menangkan Imam Budi Hartono di Pilkada Depok
Pengungsian di Rafah Dibombardir 45 Meninggal, Netanyahu Berkelit Soal Serangan Rafah