RADARDEPOK.COM – Gelombang penolakan atas iuran tabungan perumahan rakyat (tapera) masih berlanjut. Analogi yang disebutkan Presiden Joko Widodo bahwa tapera seperti BPJS Kesehatan dinilai kurang pas.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar mengatakan, kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan merupakan dasar dan bersifat melekat.
Kebutuhannya relatif umum dan wajar ketika golongan yang mampu membantu yang miskin. Begitu pula BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, pada para pekerja terdapat risiko kecelakaan kerja.
Baca Juga: Tersangka Kecelakaan Maut Bus Rombongan SMK Depok di Subang Bertambah Dua, Ini Orangnya
Sifat iurannya, kata dia, sebagai asuransi. ”Itu risetnya klir. Jadi, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, memang ada asuransi atau jaminan ketika terjadi shock secara finansial akibat kesehatan, meninggal, atau kecelakaan kerja itu ditopang oleh asuransi,” kata Media kepada Jawa Pos kemarin (29/5).
Secara teori ekonomi sektor publik, kata dia, kesehatan, pendidikan, dan keselamatan tenaga kerja merupakan public goods. Artinya, tiga aspek tersebut harus disediakan oleh negara. Sedangkan perumahan, di negara mana pun, akan selalu menjadi kebutuhan privat.
”Apakah mau tinggal di rumah orang tua, mau rumah mewah atau sederhana. Artinya, ada kebutuhan yang tidak terbatas. Sehingga, ketika itu dijadikan public goods, kekacauan pasti akan terjadi,” terang dosen Universitas Gadjah Mada tersebut.
Baca Juga: KPU Pangkas 2.000 TPS di Pilkada Depok, Pengawasan Siap Diperketat
Para pengusaha juga sudah menolak gaji para pekerja yang sudah terpotong pajak dan berbagai iuran harus ditambah lagi dengan komponen iuran lain. Apalagi perusahaan harus menanggung 0,5 persen dari iuran tapera.
Dari sisi akuntabilitas, kapasitas BP Tapera dalam mengelola uang yang sedemikian besar belum jelas. Iuran sebesar 3 persen bisa mencapai triliunan rupiah hanya dalam sekali penarikan iuran. Ada pula istilah bank kustodian yang ditunjuk untuk mengelola uang itu.
”Ini mengerikan sekali risiko penyelewengan dananya. Karena yang dikelola besar sekali,” tegasnya. Sementara itu, dari sisi pekerja, tentu akan berpengaruh negatif terhadap konsumsi, kesejahteraan, bahkan semua orang akan berusaha menghindari pajak.
Baca Juga: Slip Gaji Pegi Jadi Pegangan Kuasa Hukum, Salah Satu Alat Bukti Bukan Pembunuh Vina-Eky
Senada, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai program tapera akan semakin memberatkan kondisi ekonomi pegawai peserta tapera. Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, kebutuhan perumahan untuk kelas pekerja dan rakyat memang kebutuhan primer. Seperti halnya makanan dan pakaian.
Namun, Iqbal memberi catatan, tapera yang dibutuhkan buruh dan rakyat adalah kepastian untuk mendapatkan upah yang layak melalui dana APBN dan APBD. Bukan dipotong dari upah buruh. ”Kondisi saat ini tidaklah tepat program tapera dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta tapera karena membebani,” tegasnya.
Dia juga menyoroti soal belum adanya kejelasan terkait program tapera. Terutama tentang kepastian apakah peserta tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program itu.