Lima menit berselang, Ahmad Hudayah keluar dengan tiga gelas teh manis hangat. Ia segera meminta kami meminumnya.
“Saya masih ingat betul halte atau stasiun itu,” kata Ahmad Hudayah. Sebelumnya saat berjanji bertemu lewat ponsel, kami sudah menyatakan maksud untuk bertemu.
Kala itu Ahmad Hudayah masih duduk di bangku sekolah dasar. Sekitar tahun 1974. Rumahnya hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari Halte Bojong Pondok terong. Setiap harinya, hilir mudik warga berdatangan ke Stasiun Pondok Terong jadi pemandangan biasa bagi Ahmad Hudayah kecil.
"Stasiunnya kecil, peronnya hanya sekitar 7 meter lebar dan 15 meter panjangnya. Hanya ada satu loket yang terletak di sebelah utara stasiun,” jelas Ahmad Hudayah.
Pada masa itu, Halte Bojong Pondok Terong tersebut bersebrangan dengan kantor Kelurahan Bojong Pondok Terong. Pos loket yang terletak di sebelah utara stasiun tersebut, memiliki kusen jendela dari kayu jati yang kokoh dengan lantai peron, yang terdiri dari acian batu yang tersusun rapi. Terdapat pula bangku-bangku untuk menunggu.
“Temboknya bukan di plester. Bahannya itu seperti batu-batu cincin atau pecahan kaca yang cakep banget warnanya abu-abu hitam. Ada ruang tunggunya juga ada sekitar dua barislah di depan itu dulunya,” terang Ahmad Hudayah.
“Tahun 84 masih ada Kelurahan. Kelurahan Bojong pondok terong. Dulu Kelurahan Bojong Pondok Terong dan Pondok Jaya masih jadi satu, mungkin sekitar tahun 89 lah. Peronnya ada batu-batuannya kecil tersusun rapi, jadi ga licin, bagus banget,” terang Ahmad Hudayah.
Stasiun itu menjadi pusat kegiatan masyarakat, terutama bagi para pedagang buah yang berangkat menuju kota. Penumpang yang ingin menaiki kereta, harus menjejakan kaki diundakan untuk mencapai pintu kereta, dikarenakan peron yang pendek.
“Saya ingat, dulu banyak pedagang buah dengan keranjang besar yang lalu-lalang. Mereka naik kereta dari sini,” kenangnya.
Wilayah Bojong Pondok Terong masa itu, terdapat perkebunan jambu biji. Sehingga banyak warga sekitar yang berjualan buah tersebut ke wilayah lain. Adapula warga yang memiliki rumah di pinggir stasiun, membuka warung makan.
Ahmad Hudayah juga menceritakan usaha yang dimiliki orangtuanya. Orangtuanya yang biasa berbelanja hewan ternak di Bogor. Membawa hasil belanjanya menggunakan kereta dari Bogor, hingga sampai di depan pelataran rumahnya, yang tidak jauh dari Stasiun Bojong Pondok Terong.
“Dari Bogor mengangkut satu gerbong kambing dan satu gerbong sapi pakai kereta. Keretanya itu kereta barang jadi masih ingat saya, kereta itu bentuknya kiri kanannya kayu jati, kayak pagar aja gitu,” terang Ahmad Hudayah.
Stasiun Pondok Terong tidak hanya sekadar tempat transit, ia menyimpan banyak cerita. Di utara stasiun terdapat kali kecil menandakan ujung peron. Sementara ujung Selatan kini dijadikan tempat perlintasan kendaraan. Ahmad Hudayah mengenang detail rel tunggal, dengan bantalan yang berasal dari kayu jati. Jalan menuju rel yang sering kali tidak terjaga.