Minggu, 21 Desember 2025

Penegakan Hukum Pidana Pada Proses Delik Biasa Dalam Bingkai Keadilan Restoratif

- Senin, 4 November 2024 | 19:48 WIB
ILUSTRASI (ISTIMEWA)
ILUSTRASI (ISTIMEWA)

Oleh : Advokat dan Konsultan Hukum, Argha Syifa Nugraha, S.H.

RADARDEPOK.COM-Bahwa dalam suatu perkara pidana, proses perkara dilakukan berdasarkan pada deliknya. Dalam hal ini, ada 2 (dua) jenis delik yang biasanya digunakan, yakni delik aduan dan delik biasa.

Delik biasa atau delik yang  bukan delik aduan adalah delik yang dapat diproses langsung oleh penyidik tanpa adanya persetujuan dari korban atau pihak yang dirugikan. Dengan kata lain, tanpa adanya pengaduan atau sekalipun korban telah mencabut laporannya, penyidik tetap memiliki kewajiban untuk melanjutkan proses perkara tersebut. Contoh dari delik biasa, antara lain delik  penggelapan, penipuan, dan lain-lain.

Baca Juga: Pelaku Pengelolaan TPS Limo Depok Ditahan, Hanif Faisol: Penindakan akan Diperluas

Seiring dengan perkembangan dan berjalannya waktu bahwa paradigma hukum pidana kita memang agak bergeser ke arah lebih korektif, rehabilitatif, dan restoratif. Restoratif ini memang pada intinya adalah pemulihan. Lalu kemudian, kita tahu juga beberapa aturan-aturan teknis lainnya, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, serta Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Bahwa penyelesaian tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula atas kerugian yang timbul dan keseimbangan perlindungan antara korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan atau pemidanaan merupakan suatu kebutuhan hukm masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan dan pembaharuan sistem peradilan pidana.

Baca Juga: Warganet Sebut Imam Budi Hartono dan Ririn Farabi Arafiq Sebagai Pemenang Debat Perdana Pilkada Depok, Nih Faktanya!

Keadilan restoratif tersebut selaras dengan  Asas Ultimum Remedium, merupakan salah satu asas dalam Hukum Pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Asas Ultimum Remedium bermakna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, atau hukum administrasi) hendaklah jalur lain tersebut terlebih dahulu dilakukan. Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (hal. 128) mengartikan Ultimum Remedium adalah sebagai alat terakhir. Dalam buku yang ditulis oleh Wirjono Prodjodikoro berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 50) menjelaskan karena sifat sanksi pidana sebagai senjata pamungkas atau Ultimum Remedium pidana jika dibandingkan dengan sanksi perdata atau sanksi administrasi. Sifat ini menimbulkan kecenderungan untuk menghemat mengadakan sanksi pidana. Jadi, Ultimum Remedium merupakan istilah yang menggambarkan suatu sifat sanksi pidana.

Namun dalam penerapan nya pada suatu perkara pidana yang mana berdasarkan delik biasa seperti pidana penipuan dan penggelapan/penggelapan dalam jabatan, terdapat dilematis dan kebingungan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) baik itu Kepolisian maupun Kejaksaan, antara menghentikan proses perkara dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tersebut atau melanjutkan proses perkara tersebut, karena di satu sisi sekalipun korban telah mencabut laporannya, penyidik tetap memiliki kewajiban untuk melanjutkan proses perkara tersebut. Penulis sebagai Advokat pun pernah menemukan kasus yang demikian pada tindak pidana penggelapan dalam jabatan, antara korban dan pelaku tindak pidana sudah membuat surat kesepakatan damai, korban telah mencabut laporannya dan kerugian sudah di ganti kepada korban, namun kasus tersebut tetap di lanjutkan prosesnya oleh penyidik kepolisian bahkan dilakukan penahanan dan di perpanjang penahanan nya.

Baca Juga: Kudu Nyobain Nih Sarapan Praktis Pake Garlic Cheese Roti Tawar, Begini Cara Buatnya!

Di dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif Pasal 1 ayat (3) “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.” Pasal 2, serta Pasal 3 hingga Pasal 6 yang mengatur mengenai Persyaratan, yang mana terdapat Persyaratan materiil dan formil, diantara nya :

Persyaratan  Materiil (tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan  dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatisme, bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan, bukan TipidTer, bukan TipidKamNeg, bukan TiPiKor).

Persyaratan Formil (perdamaian dari kedua belah pihak, pemenuhan hak korban dan tanggung jawab pelaku, perdamaian dibuktikan dengan surat kesepakatan perdamaian dan di tanda tangani oleh para pihak, mengembalikan barang, mengganti kerugian, menggantikan biaya yang timbul akibat tindak pidana, mengganti kerusakan yang timbul akibat tindak pidana, penggantian hak korban dibuktikan dengan surat pernyataan sesuai kesepakatan dan di tanda tangani oleh para pihak).

Baca Juga: Selalu Sebut Kolaborasi! Kubu Sebelah Setuju dengan Konsep Imam-Ririn Bangun Depok Bareng-bareng, Sudah Berbuat Bukan Janji

Diatur dalam Pasal 13, bahwa Penanganan tindak pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dapat dilakukan dengan cara mengajukan surat permohonan tertulis kepada Kepala Kepolisian setempat dimana tindak pidana tersebut di proses, surat permohonan tersebut dapat dibuat oleh pelaku, keluarga pelaku, korban, keluarga korban atau pihak terkait lainnya seperti Penasehat Hukum jika para pihak di dampingi oleh Penasehat Hukum, surat permohonan tersebut dilengkapi dengan dokumen (surat kesepakatan damai, bukti telah dilakukan pemulihan hak korban). Selanjutnya dapat mengajukan surat permohonan tertulis untuk penghentian penyelidikan dan penyidikan (SP3), surat permohonan tersebut ditujukan kepada Kepala Kepolisian setempat dimana tindak pidana tersebut di proses, surat permohonan tersebut dapat dibuat oleh pelaku, keluarga pelaku, korban, keluarga korban atau pihak terkait lainnya seperti Penasehat Hukum jika para pihak di dampingi oleh Penasehat Hukum, surat permohonan tersebut dilengkapi dengan dokumen (surat kesepakatan damai, bukti telah dilakukan pemulihan hak korban).  Bahwa peraturan tersebut wajib menjadi acuan pedopan bagi penyidik kepolisian dalam melakukan proses penegakan hukum khususnya pada perkara pidana yang berdasarkan delik biasa (penipuan, penggelapan/penggelapan dalam jabatan).

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

Membangun Komunikasi Inklusif Bagi Difabel

Kamis, 11 Desember 2025 | 19:43 WIB

Satu Negeri Dua Realitas

Jumat, 28 November 2025 | 08:55 WIB

Pahlawan Hari Ini

Senin, 10 November 2025 | 19:20 WIB

Menembus Pasar Internasional dengan Produk Daur Ulang

Selasa, 16 September 2025 | 19:56 WIB
X