RADARDEPOK.COM - Keberhasilan Chico menjadi bagian skuad juara Piala Thomas 2020 yang memotivasi Ester untuk bisa masuk skuad Piala Uber. ’’Bro-sist moment’’ biasanya saat Ester ingin curhat kepada Chico.
RIZKY AHMAD FAUZI-DIMAS RAMADHAN, Jakarta
BUTUH empat tahun bagi Ester Nurumi Tri Wardoyo untuk mencapai mimpi yang terinspirasi dari capaian sang kakak, Chico Aura Dwi Wardoyo. Menembus skuad Piala Uber.
Dan, pebulu tangkis kelahiran Jayapura, Papua, 18 tahun lalu itu melangkah lebih jauh lagi dalam turnamen yang berlangsung di Chengdu, Tiongkok, tersebut.
Dia berperan penting atas lolosnya Merah Putih sampai ke final. Di partai puncak menghadapi tuan rumah, meski akhirnya kalah, dia satu-satunya penggawa Indonesia yang memaksa lawan bermain rubber game.
Capaian sang kakak yang menginspirasinya adalah saat tim Piala Thomas Indonesia menjuarai edisi 2020 di Aarhus, Denmark. ’’Dari situ saya bertekad bisa menjadi bagian tim (Uber) dan baru terwujud tahun ini,” ungkapnya.
Keberadaan kakak-beradik Chico-Ester dalam satu tim Thomas-Uber di satu edisi juga menjadi sejarah. Mengulangi torehan Eddy Hartono-Hariyanto Arbi di edisi Piala Thomas 1994 Jakarta dan Indra Widjaja-Candra Wijaya dalam Piala Thomas 1998.
Untuk kakak-beradik putra-putri sebelumnya tercatat atas nama Rudy Hartono-Utami Dewi. Namun, saat itu Piala Thomas dan Uber tidak berlangsung bersamaan.
Rudy mengoleksi juara di empat edisi (1970, 1973, 1976, 1979) dan dua runner-up (1967, 1982). Sedangkan Dewi menjadi bagian tim Indonesia juara di edisi 1975 serta finalis edisi 1969 dan 1972.
Chico yang berusia enam tahun lebih tua sudah menjadi motivasi sang adik sedari kecil. ’’Dari umur 6 tahun, saat aku masih di Papua,’’ ungkapnya kepada Jawa Pos di Pelatnas PBSI Cipayung, Jakarta, awal Mei lalu.
Ternyata Ester kemudian jatuh cinta dengan badminton. ’’Aku senang abis itu, aku jadi kayak pengin mimpinya tinggi mau jadi kayak Susy (Susanti),’’ katanya.
Chico sendiri pertama kenal badminton dari sang papa. ’’Tapi, saya cuma diajak aja, belum main. Lama-lama saya lihat orang main jadi suka, jadi mulai coba-coba. Pas kelas III SD,’’ tutur pemain kelahiran Jayapura, 15 Juni 1998, itu.
Di Papua sangat jarang ada tempat bermain badminton. ’’Terus klubnya juga cuma ada dua. Jadi, pertandingan agak minim,’’ ungkapnya.