Provinsi-provinsi dengan tingkat fertilitas alamiah yang lebih tinggi (TNMFR>14) memiliki median ketidaksuburan pada masa menyusui yang lebih pendek, contohnya adalah Yogyakarta.
Baca Juga: Asal Muasal Nama Pondok Petir di Depok (2) : Pohon Misterius Sejak Zaman Belanda
Jika digabungkan, pola perkawinan serta pemakaian dan efektivitas kontrasepsi secara bersama-sama berkontribusi menurunkan tingkat fertilitas secara keseluruhan (TFR) menjadi hanya sebesar 22% tingkat fertilitas alamiah (TNMFR). Pola perkawinan, pemakaian dan efektivitas kontrasepsi, serta ketidaksuburan pada masa menyusui secara bersama-sama berkontribusi menurunkan tingkat fertilitas secara keseluruhan (TFR) menjadi hanya sebesar 20% dari tingkat fekunditas (TF).
Untuk mencegah terjadinya penurunan fertilitas yang berdampak pada penurunan penduduk, Prof. Omas merekomendasikan pengelolaan fertilitas yang meliputi promosi penundaan usia kawin, promosi pemakaian dan efektivitas kontrasepsi, serta promosi menyusui. Intervensi program pengelolaan fertilitas harus disesuaikan dengan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Dalam hal ini, peran Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) diharapkan bukan hanya sebagai lembaga regulator untuk menurunkan fertilitas, melainkan juga sebagai lembaga yang menjaga dan mempertahankan pada tingkat tertentu. Penguatan program KB dapat dilakukan dengan memanfaatkan revolusi 4.0 serta teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan pencapaian pembangunan Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) di Indonesia.(mg7/rd)