Oleh :
Ayesha Daanii Nayyara, Danella Elysia Putrri, Mazaya Khairinissa, Sadira Irbah Nuuha
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Sebuah ironi tumbuh di negeri ini. Transformasi kesehatan, teknologi mutakhir, dan janji ratusan fakultas kedokteran terus digaungkan. Namun, di sudut paling sunyi Indonesia masih ada seorang anak demam menggigil seminggu penuh tanpa ada peran dokter disampingnya. Belum lagi ribuan bayi tak tertolong hanya karena kurangnya dokter spesialis di daerah.
Data tenaga kesehatan kita berlimpah di atas kertas. Indonesia sudah memiliki ratusan ribu dokter, perawat, dan bidan. Akan tetapi, angka ini seperti ilusi optik: tampak besar dari jauh, tapi saat mendekat dapat terlihat betapa kosongnya wilayah-wilayah yang seharusnya paling membutuhkan. Profil Kesehatan Indonesia 2024 menyatakan bahwa Indonesia memiliki tenaga kesehatan mencapai 2,1 juta yang tersebar dari sabang sampai merauke. Namun, kata “tersebar” menimbulkan tanda tanya besar.
Kenyataan yang ada tenaga medis hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu seperti Jawa dan Bali, sementara provinsi di kawasan timur Indonesia memiliki tenaga medis yang berada jauh di bawah batas minimal. Kalimantan Utara, Papua, dan NTT, misalnya, masih memiliki rasio dokter yang tak sebanding dengan kebutuhannya. Hal ini semakin memperjelas bahwa negeri ini seakan hidup dalam dua dunia.
Lantas apa yang masih salah hingga saat ini? Kita memiliki undang-undang, peraturan pemerintah, hingga strategi besar transformasi kesehatan. Semuanya tampak lurus, rapi, dan lengkap tetapi regulasi sering berhenti di meja birokrat. Tak meresap hingga ke tanah tempat puskesmas berdiri. Tidak ada kewajiban tenaga kesehatan lulusan dengan beasiswa harus kembali ke daerah asal. Tidak ada skema rekrutmen putra daerah yang memadai. Sementara negara lain sudah lama belajar bahwa ilmu saja tidak cukup untuk mendukung pemerataan.
Baca Juga: Komitmen Dukung Program Asta Cita Presiden, BRI Terima Penghargaan dari IMIPAS
China mendidik anak desa untuk kembali ke desa, Brazil mewajibkan penerima beasiswa kembali ke daerahnya demi pengabdian, dan Thailand mewajibkan minimal tahun kerja di fasilitas kesehatan pemerintah. Mereka menyadari sesuatu yang sederhana: pemerataan tidak akan datang jika hanya mengandalkan idealisme. Ia datang ketika negara berani mengatur, mengikat, dan menjamin.
Lalu apa yang Indonesia butuhkan? Kita butuh lebih dari sekadar fakultas kedokteran baru. Kita butuh keberanian untuk mengubah arah kebijakan.
Bayangkan jika anak-anak dari NTT, Papua, Maluku, Kalimantan Utara diberi kursi prioritas sebagai calon dokter. Bayangkan jika setiap dokter yang dibiayai negara wajib mengabdi tiga tahun di wilayah yang paling membutuhkan. Bayangkan jika jalur karier mereka dipercepat, gaji dinaikkan, pengabdian diperlakukan sebagai kehormatan. Bukankah akan terbentuk sebuah perubahan?
Mungkin kita tidak bisa menghapus ketimpangan dalam semalam. Akan tetapi, kita bisa memulai dari kesadaran kecil bahwa pemerataan tenaga kesehatan bukan sekadar urusan keadilan pelayanan tetapi demi menyelamatkan lebih banyak nyawa manusia. Selama dokter masih menumpuk di kota, dan ibu-ibu di pedalaman masih menunggu lampu yang tak pernah menyala, selama itu pula kita belum selesai dengan pekerjaan rumah paling mendasar: memanusiakan kesehatan.***
Artikel Terkait
Genjot SDM Halal, UI Siap Wujudkan Lembaga Pelatihan Halal Terakreditasi
FKM UI Laksanakan Bakti Sosial ke Empat SDN di Depok, Tumbuhkan Semangat Kepedulian Sosial bersama Mahasiswa Baru
UI Berperan Penting di World University President’s Forum
Rektor UI Resmi jadi Advisor di South China Normal University : Perkuat Jejaring Global, Tekankan Pentingnya Kolaborasi Antar Negara