Minggu, 21 Desember 2025

Ketika Etika dan Teknologi Bertemu : Arah Baru Jurnalisme Indonesia

- Senin, 6 Oktober 2025 | 19:20 WIB
Farhan Surya Adiputra (ist)
Farhan Surya Adiputra (ist)

RADARDEPOK.COM - Di ruang redaksi yang kini lebih sering diisi dengan dengung komputer ketimbang suara ketikan mesin tik, jurnalisme Indonesia sedang menghadapi persimpangan penting.

Dunia digital telah membuka peluang yang begitu besar, sekaligus menghadirkan ancaman yang tak kalah nyata. Dari ruang media sosial hingga portal berita daring, etika dan teknologi kini berdiri berdampingan, saling menguji batas dan arah masa depan profesi wartawan.

“Kalau dulu berita itu harus kita kejar dengan kaki, sekarang cukup dengan jari,” ujar Rizky Ananda, seorang jurnalis muda di Jakarta yang baru tiga tahun meniti karier di media daring.

“Tapi justru di situlah tantangannya. Jangan sampai berita kita lebih cepat dari kebenarannya,” tambahnya.

Baca Juga: Dosen UPNVJ Tingkatkan Kesehatan Santri dengan Pengukuran Status Gizi dan Edukasi Diabetes

Ucapan Rizky menggambarkan paradoks utama jurnalisme modern: kecepatan dan akurasi. Di era digital, setiap detik adalah peluang sekaligus jebakan.

Media berlomba menjadi yang pertama memberitakan, sementara publik menuntut kecepatan sekaligus kebenaran. Dalam pusaran itu, etika menjadi jangkar terakhir yang menahan agar jurnalisme tidak terseret arus sensasi.

Teknologi : Pendorong Sekaligus Pengguncang

Tak bisa dimungkiri, teknologi telah mengubah wajah jurnalisme secara radikal. Dari proses peliputan, penulisan, hingga penyebaran berita, semua kini terhubung dalam jaringan digital yang luas.

Kecerdasan buatan (AI), algoritma media sosial, dan sistem otomatisasi redaksi telah mempercepat alur kerja. Wartawan kini bisa memantau tren isu lewat data real-time, menyusun berita dari laporan daring, bahkan memanfaatkan chatbot untuk wawancara dasar.

Namun di balik kemudahan itu, muncul pertanyaan besar: sejauh mana teknologi boleh mengambil alih peran manusia dalam kerja jurnalistik?

“Teknologi itu alat, bukan pewarta,” tegas Dr. Nina Puspitasari, pakar etika komunikasi dari Universitas Indonesia.

“Begitu wartawan kehilangan nilai kemanusiaannya — empati, tanggung jawab, dan kepekaan moral — maka yang tersisa hanyalah algoritma, bukan jurnalisme,” jelasnya.

Pernyataan Nina menegaskan bahwa meski teknologi membawa efisiensi, ia juga menuntut tanggung jawab baru. AI, misalnya, bisa membantu menulis berita dengan cepat, tetapi ia tidak bisa menilai konteks sosial atau dampak moral dari informasi yang dipublikasikan.

Etika di Era Klik dan Trending Topic

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Membangun Komunikasi Inklusif Bagi Difabel

Kamis, 11 Desember 2025 | 19:43 WIB

Satu Negeri Dua Realitas

Jumat, 28 November 2025 | 08:55 WIB

Pahlawan Hari Ini

Senin, 10 November 2025 | 19:20 WIB

Menembus Pasar Internasional dengan Produk Daur Ulang

Selasa, 16 September 2025 | 19:56 WIB
X