RADARDEPOK.COM - Selama dua dekade terakhir, Kota Depok mengalami pertumbuhan yang luar biasa pesat. Gedung-gedung menjulang di sepanjang Margonda, pusat perbelanjaan bermunculan, dan arus kendaraan seolah tak pernah berhenti melintasi jalan-jalan utama kota.
Namun, di balik dinamika itu, muncul pertanyaan mendasar yang sepatutnya direnungkan bersama: apakah Depok benar-benar sedang membangun sebuah kota, atau sekadar memperluas ruang transit dari Jakarta?
Pertanyaan ini penting, sebab kota bukan sekadar ruang geografis yang dipenuhi aktivitas ekonomi dan infrastruktur fisik. Kota adalah organisme sosial yang seharusnya hidup oleh nilai, budaya, partisipasi warga, dan cita-cita bersama. Pembangunan yang sejati bukan sekadar beton dan jalan, melainkan pembentukan peradaban yakni bagaimana manusia yang tinggal di dalamnya menjadi semakin berdaya, berpengetahuan, dan beretika.
Di titik inilah, arah pembangunan Depok perlu ditata ulang agar tidak terjebak dalam logika “kota penyangga” yang sibuk melayani kebutuhan ibu kota, tetapi kehilangan jati diri dan karakter lokalnya sendiri.
Depok memiliki modal besar untuk menjadi kota yang maju secara intelektual, ekonomi, dan budaya. Di kota ini berdiri berbagai perguruan tinggi besar seperti Universitas Indonesia, dan sejumlah kampus swasta yang melahirkan ribuan anak muda kreatif setiap tahun. Sayangnya, potensi intelektual itu belum sepenuhnya menjadi bagian dari denyut pembangunan kota. Depok seolah hidup di antara dua wajah: wajah modern dengan fasilitas urban dan mobilitas tinggi, serta wajah sosial yang masih dibayang-bayangi kesenjangan, kemacetan, banjir, dan tata kota yang belum manusiawi.
Pembangunan yang selama ini cenderung menitikberatkan pada proyek fisik jalan, jembatan, trotoar, dan taman belum dibarengi dengan investasi sosial yang memadai. Kota memang tampak tumbuh, tetapi belum sepenuhnya berkembang. Pembangunan yang beradab menuntut pendekatan yang lebih menyeluruh, di mana manusia menjadi pusatnya. Pemerintah perlu menempatkan warga bukan sekadar sebagai objek kebijakan, tetapi sebagai subjek yang ikut menentukan arah kota. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan harus menjadi prinsip utama, bukan sekadar pelengkap administratif. Ruang-ruang dialog antara pemerintah dan warga perlu dibuka lebih luas, agar kebijakan yang lahir benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Baca Juga: Ketika Etika dan Teknologi Bertemu : Arah Baru Jurnalisme Indonesia
Di sisi lain, politik lokal Depok juga harus berevolusi dari sekadar arena perebutan kekuasaan menjadi ruang perumusan nilai dan gagasan. Politik kota mestinya tidak berhenti pada slogan dan janji pembangunan, tetapi hadir sebagai praksis etika publik. Pembangunan kota yang bermartabat hanya dapat lahir dari politik yang jujur, transparan, dan berorientasi pelayanan. Saat politik dijalankan dengan semangat pengabdian, maka kebijakan publik akan tumbuh dari nurani, bukan dari kepentingan elektoral jangka pendek. Depok membutuhkan kepemimpinan yang bukan hanya pandai membangun fisik kota, tetapi juga sanggup menumbuhkan kesadaran kolektif warganya untuk hidup dalam harmoni, gotong royong, dan tanggung jawab sosial.
Dalam bidang ekonomi, tantangan Depok terletak pada bagaimana mengubah struktur ekonomi konsumtif menjadi ekonomi produktif. Selama ini, geliat ekonomi kota banyak bertumpu pada sektor jasa dan perdagangan konsumsi rumah tangga, sementara sektor kreatif, UMKM, dan ekonomi berbasis komunitas belum mendapatkan dukungan kebijakan yang sistematis. Padahal, Depok memiliki sumber daya manusia muda yang sangat potensial untuk mengembangkan ekonomi digital, wirausaha sosial, hingga industri kreatif berbasis pengetahuan. Pemerintah daerah perlu membangun ekosistem yang kondusif bagi tumbuhnya ekonomi berbasis nilai tambah—bukan hanya menyediakan lapak, tetapi juga memperkuat jejaring, riset, dan inovasi.
Pembangunan kota yang beradab juga tak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Depok bukan ruang kosong; ia memiliki sejarah, identitas, dan karakter yang khas sebagai kota yang tumbuh dari tradisi Betawi dan Sunda, serta kuat dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam dan pendidikan. Dalam pusaran urbanisasi yang cepat, budaya lokal sering tersisih oleh gaya hidup konsumtif dan homogenitas metropolitan. Karena itu, revitalisasi kebudayaan lokal perlu menjadi bagian integral dari visi pembangunan. Ruang publik yang inklusif dan sarat nilai edukatif harus diperbanyak: taman baca, galeri seni, ruang diskusi komunitas, dan event budaya warga. Dari sanalah kota bisa menumbuhkan rasa memiliki dan kebanggaan warganya.
Arah besar pembangunan Depok sejatinya harus diarahkan pada satu cita-cita: menjadi kota peradaban. Kota peradaban bukan berarti kota yang sempurna, melainkan kota yang berproses menuju kematangan sosial, di mana pertumbuhan fisik berjalan beriringan dengan pertumbuhan moral, intelektual, dan spiritual masyarakatnya. Kota yang seperti ini tidak dibangun hanya dengan anggaran dan proyek, tetapi dengan visi, nilai, dan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah, akademisi, pelaku ekonomi, seniman, dan masyarakat sipil harus saling berjejaring untuk menjadikan Depok lebih dari sekadar tempat tinggal—melainkan ruang hidup yang bermakna.
Depok tidak boleh puas menjadi “kota penyangga” selamanya. Ia harus berani menulis sejarahnya sendiri sebagai kota yang mandiri dan berkarakter. Menata ulang arah pembangunan berarti menata ulang cara berpikir: dari logika pertumbuhan menuju logika keberlanjutan, dari pembangunan yang sibuk mengejar citra menuju pembangunan yang menumbuhkan peradaban. Hanya dengan cara itu, Depok bisa benar-benar menjadi kota yang hidup oleh nilai, bukan sekadar berdiri oleh bangunan.
Baca Juga: Revitalisasi Sekolah sebagai Upaya Pemerintah Memberikan Layanan Pendidikan Bermutu untuk Semua
Menjadi kota peradaban menuntut Depok untuk memiliki arah pembangunan yang berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan ekologis. Kota tidak boleh terus dibangun dengan semangat kompetisi tanpa arah, seolah-olah pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur adalah satu-satunya indikator kemajuan. Padahal, ukuran sejati dari kemajuan sebuah kota terletak pada seberapa bahagia dan berdayanya warga yang tinggal di dalamnya. Jika pembangunan hanya menghasilkan gedung tinggi, jalan lebar, dan pusat belanja megah, namun meninggalkan ketimpangan sosial dan keterasingan budaya, maka kota tersebut sesungguhnya sedang kehilangan jiwanya.
Dalam konteks ini, Depok perlu melakukan reorientasi pembangunan menuju keseimbangan antara manusia, alam, dan kebijakan. Ruang terbuka hijau yang menurun, kualitas udara yang memburuk, serta pengelolaan sampah yang masih menjadi pekerjaan rumah menunjukkan bahwa pembangunan ekologis belum sepenuhnya menjadi arus utama. Kota yang sehat adalah kota yang menyediakan oksigen bagi warganya, bukan hanya dalam arti fisik, tetapi juga dalam arti sosial: ruang untuk bernafas, berinteraksi, dan berkreasi. Depok harus memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan memperhatikan daya dukung lingkungan dan hak generasi mendatang untuk hidup dalam kota yang lestari.
Artikel Terkait
Revitalisasi Sekolah sebagai Upaya Pemerintah Memberikan Layanan Pendidikan Bermutu untuk Semua
Meningkatkan Ketahanan Pangan Desa Cipambuan Lewat Sirkular Ekonomi
Menembus Pasar Internasional dengan Produk Daur Ulang
Dosen UPNVJ Tingkatkan Kesehatan Santri dengan Pengukuran Status Gizi dan Edukasi Diabetes
Ketika Etika dan Teknologi Bertemu : Arah Baru Jurnalisme Indonesia
SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan Beda Tahun Buku di Coretax
Mengenal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Kegiatan Membangun Sendiri