RADARDEPOK.COM - Pendidikan yang bermutu tidak hanya diukur dari proses pembelajaran di ruang kelas, tetapi juga dari kemampuan sistem pendidikan dalam mengevaluasi capaian belajar secara konsisten, adil, dan terstandar. Salah satu terobosan penting yang dihadirkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah adalah Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagaimana diatur dalam Permendikdasmen Nomor 9 Tahun 2025.
TKA dirancang untuk mengukur capaian akademik murid secara objektif pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, sekaligus menjadi instrumen penjaminan mutu pendidikan yang inklusif. Kebijakan ini bukanlah reinkarnasi Ujian Nasional, melainkan layanan opsional yang melengkapi sistem penilaian sekolah dan asesmen nasional.
TKA hadir dengan tujuan strategis untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai kemampuan akademik siswa, baik dari jalur pendidikan formal, nonformal, maupun informal, sehingga setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk menunjukkan potensinya. Melalui instrumen ini, pemerintah tidak hanya memperoleh data yang akurat untuk kebutuhan seleksi akademik, tetapi juga bahan evaluasi untuk memperbaiki kualitas pembelajaran di setiap satuan pendidikan.
Baca Juga: Sukseskan AKM, Disdik Kota Depok Perkuat Operator Sekolah
Dengan sifatnya yang opsional dan tidak menentukan kelulusan, TKA justru memperkuat peran guru sebagai penilai utama, sekaligus memberikan dukungan berbasis data yang dapat digunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.
Secara yuridis, TKA memiliki legitimasi kuat. Kebijakan ini berlandaskan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan pentingnya penilaian pendidikan untuk mengukur capaian kompetensi lulusan.
Lebih lanjut, Permendikdasmen Nomor 9 Tahun 2025 menegaskan bahwa TKA bertujuan memperoleh informasi capaian akademik yang terstandar, menjamin akses pendidikan nonformal dan informal terhadap penyetaraan hasil belajar, mendorong peningkatan kapasitas pendidik, dan menjadi acuan penjaminan mutu pendidikan. Artinya, TKA tidak sekadar instrumen evaluasi, tetapi juga mandat negara untuk memenuhi hak warga negara atas pendidikan bermutu.
Secara historis, Indonesia pernah memiliki Ujian Nasional (UN) yang berfungsi sebagai evaluasi capaian akademik nasional. Namun, UN sering dikritik karena dianggap menimbulkan tekanan berlebihan pada siswa dan guru. Filosofinya cenderung menempatkan hasil ujian sebagai penentu tunggal kelulusan, sehingga mengabaikan konteks lokal dan peran guru. TKA hadir dengan pendekatan berbeda—bersifat opsional, tidak menentukan kelulusan, dan justru memperkuat peran guru dalam menilai siswa. Filosofi ini mengedepankan keadilan, pemerataan kesempatan, dan keterlibatan semua pihak dalam menjaga mutu pendidikan.
Dari sisi sosiologis, TKA menjawab tantangan kesenjangan mutu pendidikan antarwilayah dan antar sekolah. Nilai rapor yang bersifat subjektif di setiap sekolah sering kali sulit dibandingkan secara adil pada seleksi jenjang pendidikan berikutnya. Dengan TKA, pemerintah menyediakan tolok ukur capaian akademik yang seragam, sehingga memudahkan seleksi berbasis prestasi yang lebih objektif baik untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) maupun seleksi masuk perguruan tinggi. Lebih dari itu, kebijakan ini mendorong pemerataan akses bagi siswa dari pendidikan formal, nonformal, hingga informal.
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Permendikdasmen Nomor 9 Tahun 2025 secara eksplisit membagi peran: Kementerian menetapkan pedoman dan kerangka asesmen, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota berperan dalam penjaminan mutu, penyusunan soal (khususnya untuk SD dan SMP), serta pengawasan pelaksanaan. Model kolaboratif ini memperkuat rasa memiliki di daerah, menghindari kesan program “turun dari pusat”, dan membuat kebijakan lebih kontekstual.
Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci keberhasilan TKA. Pemerintah pusat, daerah, dan kementerian terkait bekerja bersama dalam pengembangan soal, pelaksanaan, serta pemantauan hasil ujian. Toni Toharudin menegaskan bahwa melibatkan pemerintah daerah dalam penyusunan instrumen tes dapat meningkatkan kapasitas daerah dalam evaluasi pendidikan dan membangun rasa kepemilikan terhadap kebijakan. Dengan demikian, TKA tidak hanya menjadi alat ukur, tetapi juga wahana transfer pengetahuan dan teknologi asesmen.
Keberlanjutan TKA memerlukan dukungan penuh dari semua pihak. Sekolah dan guru harus memandang TKA sebagai peluang untuk meningkatkan mutu pembelajaran, bukan ancaman terhadap otonomi penilaian. Orang tua perlu memahami bahwa TKA tidak menentukan kelulusan, melainkan memberikan informasi tambahan tentang kemampuan akademik anak. Dunia usaha dan industri juga dapat memanfaatkan data TKA sebagai pertimbangan dalam program magang atau beasiswa. Sinergi ini akan memastikan bahwa TKA menjadi bagian dari ekosistem pendidikan yang sehat dan berkelanjutan.
TKA sejalan dengan program strategis Kemendikdasmen seperti Asesmen Nasional, Program Guru Penggerak, dan Kurikulum Merdeka. Ketiganya berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan melalui pembelajaran yang berpihak pada murid. Dalam konteks ini, TKA menjadi instrumen pelengkap yang menyediakan data objektif untuk perbaikan berkelanjutan di tingkat satuan pendidikan. Pemerintah juga dapat memanfaatkan hasil TKA untuk merancang intervensi berbasis bukti (evidence-based policy) di daerah dengan capaian rendah.
Meskipun memiliki banyak manfaat, implementasi TKA tidak bebas dari tantangan. Kekhawatiran muncul terkait potensi beban tambahan bagi siswa, kesenjangan akses terhadap fasilitas ujian berbasis komputer, dan risiko kesalahpahaman publik yang menganggap TKA sebagai “Ujian Nasional gaya baru”. Untuk itu, perlu komunikasi publik yang jernih, penyediaan contoh soal yang dapat diakses gratis, serta pendampingan bagi sekolah di daerah tertinggal. Dengan mitigasi yang tepat, TKA akan benar-benar menjadi alat pemerataan dan penjaminan mutu, bukan sumber ketimpangan baru.