Kedelapan, jadikan keluarga sebagai sekolah pertama kebangsaan. Ajarkan sopan di meja makan, adil dalam membagi tugas rumah, jujur ketika berbuat salah. Peradaban lahir dari kebiasaan kecil yang diulang dari rumah ke rumah. Pahlawan sehari-hari mungkin tak mendapat piagam atau gelar, tetapi ia menyiapkan generasi yang memerlukan lebih sedikit pengawasan dan lebih banyak kepercayaan.
Baca Juga: Mengintip Program Katar RW20 Kelurahan Abadijaya Depok : Pengurus Baru, Terobosan Baru
Kesembilan, naikkan standar diskursus publik. Tahan godaan label mudah, bedakan keras kepala dengan teguh pendirian, bedakan tajam dengan kasar. Media, kampus, komunitas, dan pemerintah dapat menetapkan kode etik percakapan moderasi yang adil, ruang sanggah yang wajar, dan penghargaan pada argumen yang teruji. Demokrasi berkualitas membutuhkan warga yang cakap berdialog, bukan sekadar keras bersuara.
Kesepuluh, rayakan Indonesia dengan cara yang cerdas. Beli tiket festival budaya lokal, baca penulis dari daerah lain, dukung klub olahraga kebanggaan kota, pelajari satu tarian atau instrumen tradisi. Kebanggaan yang dihidupi mengendurkan rasa inferior dan mempertebal rasa memiliki. Dari rasa memiliki tumbuh niat memelihara, dari niat memelihara lahir tindakan yang menguatkan.
Kerangka nilai yang merajut seluruh agenda ini adalah Pancasila. Ia bukan poster di dinding kelas, melainkan metode mengolah perbedaan dan cara mengambil keputusan. Ketuhanan membentuk etika; Kemanusiaan mengasah kepekaan dan empati; Persatuan menuntut disiplin ego; Kerakyatan melatih musyawarah; Keadilan mengukur hasil. Bila Pancasila ditarik dari ruang upacara dan ditanam di rumah, ruang kerja, ruang kelas, dan ruang digital, kita akan menyaksikan perubahan yang lebih tenang namun dalam. Perilaku warganya membaik, kualitas institusinya meningkat, daya saingnya tumbuh, dan yang paling penting, harga diri bangsanya kembali tegak. Pada puncaknya, kepahlawanan sehari-hari ialah melakukan hal yang benar-benar benar. Bukan karena takut sanksi, bukan karena mengejar sorak, melainkan karena sadar bahwa republik ini bertahan oleh jutaan keputusan kecil yang tak tercatat. Kita ingat nama-nama besar 10 November karena mereka mewakili arus yang sama: keputusan untuk tidak mundur ketika menyerah ada dalam pilihan, memajukan yang bersama ketika mudah mementingkan yang sendiri.Toko Pahlawan
Baca Juga: Polres Metro Depok dan Kelurahan Pengasinan Sepakat “Jaga Kampung”, Ini yang Bakal Dilakukan
Menjelang Hari Pahlawan ke delapan puluh ini, marilah kita menukar tanya “siapa pahlawanku?” menjadi tanya “siapa yang terbantu oleh pilihanku hari ini?”. Bila setiap warga membawa pertanyaan itu ke meja kerja, ruang kelas, layar gawai, dan jalanan. Bila para pemimpin menjawabnya dengan teladan, bila kebijakan publik dirancang untuk memudahkan warga berbuat benar, maka 10 November tak lagi sekadar upacara, melainkan ritme peradaban. Pada akhirnya, bangsa yang besar tidak hanya menyimpan kisah kepahlawanan di museum dan buku sejarah, melainkan menggandakan pahlawan di halaman rumah. Dan pahlawan hari ini adalah engkau dan saya, kita lahir bukan dari keberuntungan momen, melainkan dari kebiasaan yang disetrum nilai. Itulah arti Pahlawan Hari Ini: setia pada yang benar, tekun pada yang berguna, dan bangga pada Indonesia tanpa syarat dan tanpa jeda.***