Foto : Drs. Supartono, MPd Pengamat sepakbola nasional, Pengamat pendidikan nasional.
“Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.” Hanya karena kesalahan kecil yang tidak ada artinya seluruh yang baik menjadi rusak. Barangkali itulah peribahasa yang tepat dapat dialamatkan dari dua kali peristiwa perhelatan sepakbola nasional di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Bagaimana tidak? Hanya satu atau dua kursi yang kebetulan lepas bautnya karena banyak penonton yang tertangkap kamera CCTV masih belum terbiasa bersikap memperlakukan tempat duduk penonton SUGBK yang baru dengan benar, maka satu atau dua kursi yang setelah diricek hanya lepas baut, bukan rusak seperti pemberitaan yang hingga viral di media sosial, berakibat publik sepakbola nasional saling memberikan argumentasinya.
Golongan suporter
Dari hasil tangkap kamera CCTV di SUGBK, memang tidak dapat disangkal bahwa suporter sepakbola kita, masih sangat perlu belajar dan membiasakan diri memperlakukan fasilitas di dalam stadion dengan penuh tata krama dan etika.
Budaya menonton sepakbola dengan stadion tanpa tempat duduk (single seat) dan beridiri di beton tribun stadion, nampaknya memang sudah mendarah daging bagi sebagian besar suporter klub di seantero Indonesia, pun dunia. Bedanya, suporter kita benar-benar butuh edukasi agara kebiasaan buruk tidak berlanjut di stadion yang telah berganti baju menjadi stadion mewah.
Terlebih, bila diklasifikasi, golongan suporter sepakbola Indonesia itu terdiri dari suporter cerdas (mengenyam pendidikan sekolah/kuliah), suporter belum terdidik (belum mengenyam pendidikan bangku sekolah dan kuliah), lalu di antara mereka bergabung dengan kelompok atau organisasi suporter resmi klub-klub Liga 1, 2, 3, dan seterusnya.
Kemudian kelompok suporter yang terorganisirpun ternyata di setiap klubpun bukan hanya terdiri dari satu kelompok. Namun, kelompok-kelompok tersebut sama-sama mendukung tim yang sama. Maka bila terjadi persoalan antar dan dari suporter dalam sebuah pertandingan, terkadang, kelompok/organisasi suporter yang resmi seringkali menjadi kambing hitam, dan tempat ketiban kesalahan akibat dari perbuatan atau ulah suporter kelompok/organisasi lain. Di sini pun akan sangat dapat dilihat dengan kasat mata, kendati sama-sama dalam satu kelompok suporter, akan mudah diidentifikasi mana suporter yang terdidik dan mana yang belum terdidik dari bangku sekolah dan bangku kuliah.
Fenomena suporter di Indonesia semakin lengkap dengan adanya kelompok suporter yang bernama Ultras (di luar kebiasaan). Kelompok suporter ini tindak dan budayanya dalam mendukung tim kesayangan, persis sama dengan gaya suporter ultras di belahan dunia lain. Ultras dalam aksi dukungan pada tim kesayangannya, membutuhkan ruang gerak untuk memberikan apresiasi dengan berbagai model dan gayanya. Maka aksi Ultras saat mendukung tim kesayangan, memang membutuhkan ruang tersindiri, yaitu tempat tribun penonton yang cukup dari beton.
Di sepakbola Amerika maupun Eropa, untuk mengakomodir kepentingan suporter Ultras di dalam aksi dukungannya di dalam stadion, maka biasanya, stadion memberikan ruang khusus, yaitu tribun di belakang gawang yang tanpa tempat duduk single seat alias tribun beton untuk berdiri Ultrasmania.Momentum SUGBK
Renovasi SUGBK yang mencapai nilai Rp 769,7 miliar, yang tetap dengan mempertahankan keutuhan kerangka SUGBK sebagai Bangunan Cagar Budaya Indonesia, harus menjadi momentum suporter Indonesia lepas landas dari persoalan etika. Renovasi di berbagai sudut yang membuat SUGBK menjadi stadion sorotan dunia, hingga bangku SUGBK yang kini sudah memenuhi standar rekomendasi/regulasi yang tertuang dalam Safety of Sports Ground Act 1975 dan The Football Spectators Act (1989), salah satunya berisi maklumat stadion-stadion harus memiliki tempat duduk (single seat), harus benar-benar menjadi momentum lahirnya standarisasi suporter di seluruh stadion Indonesia, bukan hanya sekedar menyoal etika, namun lebih mendasar, suporter seluruh Indonesia wajib mendapatkan pendidikan yang benar agar budaya menonton pertandingan sepakbola di dalam setiap stadion, dengan sendirinya akan dapat disesuiakan oleh masing-masing suporter tergantung dari jenis stadion yang disinggahinya.
Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) di bawah Kementrian Sekretariat Negara Republik Indonesia, adalah Badan/Lembaga yang paling tepat melakukan program pendidikan suporter sepakbola Indonesia. Sepakbola Indonesia sangat potensial mendongkrak perekonomian negara.
Seluruh stakeholder sepakbola nasional kini mulai dapat mengambil untung dari even sepakbola nasional. Logo sponsor, di klub-klub Liga Indonesia kini lebih dari satu menempel di jersey klub. Mantan pesepakbola dunia, berduyun-duyun mengincar Indonesia sebagai tempat mereka mendirikan akademi sepakabola. Klub-klub kini telah dapat menghitung untung dari pemasukan penjualan tiket suporter.
Pedagang kaki lima kebagian rezeki dari segala aspek sepakbola, seperti cetak jersey klub, flayer, stiker, hingga penjual asongan. Karena apa? Jawabnya karena banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang sama artinya dengan suporter sepakbola di Indonesia adalah pangsa terbesar untuk kepentingan sponsor alias bisnis alias industri. Dan sepakbola sekarang bagi para pelakunya adalah pekerjaan untuk menghidupi diri, keluaraga. Tempat mencari sandang, pangan, dan papan.
Dengan demikian, siapa yang terbesar mendatangkan uang bagi seluruh stakeholder sepakbola nasional? Jawabnya lagi-lagi penonton, suporter sepakbola nasional.
Seiring dengan penjelmaan SUGBK menjadi stadion modern, megah, dan tetap mempertahankan cagar budaya Indonesia, serta fakta bahwa suporter sepakbola nasional adalah aset utama dalam bisnis dan industri sepakbola nasional, maka suporter wajib diberikan perhatian khusus.
Suporter harus mendapat pendidikan
Mengapa selama ini suporter terlihat sering berbuat anarkis, tidak etis, buat keributan dan sebagainya, yang akhirnya melegitimasi seolah suporter sama dengan obyek negatif. Apakah ini sepenuhnya salah suporter? Kita semua, selalu senangnya hanya menuntut agar suporter tertib dan beretika ketika mendukung tim atau klub kesayangannya, namun arahan dan pendidikan apa yang pernah stakeholder terkait berikan untuk suporter Indonesia secara khusus? Bahkan PSSIpun hanya bisa menghukum klub akibat ulah suporter. Pertanyaannya, apa yang sudah dilakukan oleh PSSI untuk suporter?Apa yang dilakukan oelh negara untuk pendidikan suporter bahkan seluruh suporter olahraga?
Ijazah SD, SMP, SMA, Sarjana dan seterusnya yang ditempuh melalui jalur formal saja tetap belum menggaransi lahirnya lulusan yang sesuai dengan kareakter bangsa ini perlukan, demi melanjutkan perjuangan bangsa hasil korban darah dan nyawa para pejuang. Elit politik dan kalangan elit bangsa pun masih lebih mementingkan diri dan golongannya.
Belum ada panduan suporter
Untuk itu, rasanya sudah menjadi barang wajib, bila suporter sepakbola nasional khususnya, dan umumnya suporter olahraga lain, diberikan tempat dan kesempatan untuk menerima pendidikan cerdas suporter Indonesia yang berlandas budaya lokal, tata krama bangsa Indonesia dalam wujud minimal berbentuk program edukasi suporter sepakbola Indonesia, agar seluruh suporter dapat memahami dirinya (jiwa, raga, kemampuan ekonomi), memahami wujud stadion sepakbola yang akan disinggahi dan bagaimana harus bersikap di dalamnya, memahami kelompok atau organisasinya, memahami kelompok suporter lainnya hingga terjadi kekeluargaan suporter Indonesia yang cerdas intelegensi dan personaliti dalam kedudukannya sebagai suporter dalam kondisi dan situasi apapun.
Hingga detik ini, belum ditemukan di jagad bumi ini, negara yang pernah secara khusus mengedukasi suporter sepakbola dengan program formal. Bila, Indonesia melakukannya melalui Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno di bawah Kementrian Sekretariat Negara Republik Indonesia, maka inilah program edukasi suporter sepakbola pertama di dunia. Setali tiga uang, GBK sebagai stadion termegah resmi beroperasi, suporter yang kelak terdidikpun tetap menggaransi bisnis dan idustri sepakbola nasional. Suporter terdidik dan cerdas, maka bisnis dan industripun senantias reguk keuntungan karena stadion-stadion selalu siap dan layak pakai bukan hanya dikelola oleh pengelola stadion, namun juga dirawat dan dilindungi oleh suporter terdidik.
Banyak rumah mewah yang dikelilingi tembok tinggi dan kokoh, namun tetap kemalingan. Tetapi banyak rumah-rumah mewah yang tanpa tembok keliling, justru aman dari maling. Mengapa? Banyak murid bersalah, siapa yang sebenarnya bertanggungjawab atas salahnya murid? Banyak guru berbuat salah, mengapa kepala sekolah tidak bertanggungjawab? Banyak orangtua menyalahkan anaknya. Mengapa anaknya berbuat salah? Suporter tidak etis? Apakah sepenuhnya salah suporter?
Semoga, sebelum lahir program edukasi suporter sepakbola Indonesia, dalam gawean SUGBK ke tiga, penyelenggaraan final Piala Presiden edisi ke-3 mendatang, seluruh suporter yang hadir dapat medudukkan diri sebagai suporter yang hadir di stadion kebanggaan Indonesia yang kini bertempat duduk single seat dan dilengkapi sarana dan prasarana modern.
Yakin PPKGBK akan lebih siap menyambut suporter dengan berbagai sosialisasinya agar para suporter tidak mengulang sikap tidak etis sebelumnya dengan melakukan sosialisasi program awal di media cetak dan elektronik hingga melakukan konferensi pers.
Peristiwa puluhan ribu suporter yang hadir di GBK, namun hanya satu atau dua bangku dianggap rusak, meski tidak seberapa perbandingannya, tetap saja menjadikan topik berita yang tidak enak dan menjadi perdebatan di media sosial nasional dan bahkan dunia karena ini menyoal GBK. Semoga, perhelatan Final Piala Presiden penonton cerdas dan beretika, karena PPKGBK telah ada obat antisipasinya. Berikutnya, porgram edukasi suporter juga tetap menjadi tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amin. (*)