Oleh: K. H. A. Mahfudz AnwarKetua MUI Kota DepokKETIKA manusia menapaki hidup di muka bumi yang luas bak belantara ini sudah barang tentu banyak jalan berliku. Banyak cabang di setiap tikungan. Hal ini yang menyebabkan orang kebingungan untuk memilih jalan yang mana yang harus dilalui.
Demikian sulitnya menentukan pilihan jalan yang benar, maka memerlukan petunjuk jalan yang bisa mengarahkan ke jalan yang benar. Dan sebagai orang beragama, maka Kitab Suci Al-Qur’an lah yang menjadi panduan baku yang mampu menyelamatkan manusia dari jalan terjal yang membahayakan dirinya.
Di saat manusia sedang sulit menemukan jalan lurus, maka Al-Qur’an turun membawa berita kebenaran. Yaitu jalan yang menuntun manusia bisa keluar dari kegelapan menuju jalan terang _(minadz dzulumaati ilan nuur).
Dan Rasulullah SAW pun diutus oleh Allah SWT untuk menjadi tokoh model dari teks Al-Qur’an itu. Sehingga perilaku keseharian Rasulullah SAW merupakan ejawantahan dari panduan kitab suci tersebut. Dan itulah yang menjadikan Al-Qur’an mudah dipahami dan dimengerti oleh setiap pembacanya. Karena setiap ayat-ayat yang termaktub dalam Al-Qur’an juga dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui Hadits-haditsnya baik yang berupa ucapan maupun tindakan.
Dan kini manusia baik yang sudah beriman maupun yang belum, telah dengan mudah membaca teks nya dan mengimplementasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Dan dalam tataran keilmuan ini yang disebut dengan Tafsir bil ma’tsur. Oleh karena itu kenapa untuk memahami Al-Qur’an harus disertai pemahaman Hadits Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an maupun Al-Hadits tidak berdiri sendiri, melainkan satu paket yang menyebabkan manusia memperoleh pemahaman yang utuh. Banyak kasus pemahaman orang terhadap teks ayat yang tidak bisa tuntas tanpa disertai pemahaman Hadits.
Salah satu contoh tentang ayat jual-beli diri manusia dengan Allah SWT. Di mana Allah SWT membeli dagangan manusia yang secara ekonomi adalah jual-beli itu tukar menukar barang dengan alat tukar (uang). Seperti tercantum dalam Q.S.At-Taubah : 11 bahwa “Sesungguhnya Allah SWT telah membeli dari orang-orang beriman dirinya dan hartanya, dan baginya berhak mendapat surga”.
Di mana Rasulullah SAW mengajarkan kepada manusia untuk menjalani hidup dengan penuh pengabdian yang utuh untuk Tuhannya dengan diri dan hartanya sekali gus. Maka tidak cukup orang mengatakan dirinya beriman sebelum dia juga bersedia menginfakkan hartanya di jalan Allah SWT.
Dalam konteks perang, dia harus berangkat perang dengan membawa modal harta sebagai bekal. Dalam konteks yang lebih umum bahwa orang beriman itu mengabdikan dirinya kepada Allah SWT dengan rajin beribadah, tapi juga mengurbankan hartanya untuk kepentingan agamanya, Li izzil Islam wal Muslimin, demi kemuliaan agama Islam dan sekaligus kemuliaan ummat Islam. Jika ajaran Islam dihormati, maka dengan sendirinya pemeluk ajarannya turut serta menjadi mulia. Jadi kemuliaan umat Islam tergantung pada sejauh mana pengurbanannya untuk kemajuan Islam. Tidak cukup hanya dengan teriak-teriak saja tanpa ada program pengentasan kemiskinan di tengah-tengah masyarakat. Baik kemiskinan ekonomi maupun kemiskinan Ilmu.
Pertanyaannya adalah sudahkah kita mengabdikan diri kita yang melibatkan diri dan harta sekaligus dalam setiap kegiatan dan langkah keseharian kita selama ini? Jangan-jangan kita baru berbicara Iman, tapi kemiskinan di depan mata tidak tersentuh sama sekali. Pada hal Rasulullah SAW telah memberi contoh dengan kedermawanan hartanya dan kemurahan Ilmunya. Demikian sekelumit kajian tentang diri kita ini, semoga menjadi bahan perenungan yang mempunyai efek positif dalam meningkatkan ketakwaan kita semua. Wallahu a’lam. (*)