Oleh: K.H. A. Mahfudz AnwarKetua MUI Kota DepokPERJALANAN hidup manusia dewasa ini semakin tampak ruwet dan tak jelas arahnya. Tidak sedikit manusia yang hidupnya hanya mengikuti arah mata angin. Semua jurusan ditempuh. Pada hal Tuhan hanya membuat satu arah menuju keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Yaitu jalan yang ditunjukkan oleh Rasul yang diutus oleh-Nya. Dari sejak adanya manusia pertama (Adam A S) Allah swt sudah memperkenalkan diri-Nya melalui Rasul itu.
Demikian juga Rasul-rasul sesudahnya selalu membawa petunjuk dan bimbingan buat umat manusia agar melalui satu jalan yang benar (sabilil haq). Dengan cara memperkenalkan Tuhan yang sepatutnya disembah. Lalu memperkenalkan diri Rasul yang dibekali dengan bukti-bukti mukjizat ke-Rasulan agar manusia mempercayai lalu mau mengikuti jalan yang dicontohkannya. Seakan beliau Rasul itu sudah membuka jalan di tengah belantara, lalu umat ini diajak lewat dengan jalan di belakang Rasul itu.
Sebagai umat beragama (muslim) sudah semestinya mengikuti jalan yang diarahkan oleh Allah swt melalui Rasul-Nya. Tanpa ragu-ragu terus melaju. Baik jalan itu terjal ataupun jalan itu mulus. Karena jalan Islam itu sudah baku (qath’iy) dan tinggal kita percayai saja. Siapa yang percaya, pasti mengikuti jalan itu tanpa berhenti dan bertanya-tanya lagi. Manusia ber-iman hanya berjalan dengan ke-imanannya itu untuk menempuh jalan hidupnya. Baik akalnya nyambung maupun akalnya tidak nyambung. Karena ia punya sikap “Sami’na wa’atha’na’ saya dengar (Kitab suci) dan aku patuh (melaksanakan).
Sehingga apa yang terdapat dalam ajaran Islam tidak pernah diragukan apa lagi sampai ditolak. Sesuatu yang diharamkan oleh Allah swt (maa harramallah) tidak berani merubah menjadi halal. Juga sebaliknya sesuatu yang dihalalkan (maa ahallallah) tidak berani merubah menjadi haram. Tapi sekarang kita sering diperlihatkan sikap sebagian orang Islam yang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Dengan cara mencap haram pada sesuatu yang jelas halalnya. Bahkan sampai memberi label Kafir pada orang Islam yang melakukannya. Pada hal hanya beda penafsiran tentang masalah furu’ (cabang) bukan Ushul (pokok).
Untuk itulah perlunya redefinisi muslim. Agar masyarakat memahami ajaran Islam yang pokok dan yang cabang. Yang pokok tidak perlu dipersoalkan seperti shalat wajib lima waktu, sebab sudah disepakati oleh semua Ulama’ul Islam (ijma’). Sedangkan masalah furu’ silahkan saja untuk diijtihadi sesuai dengan perkembangan zaman. Sebab situasi dan kondisi bisa merubah sesuatu hukum (al-hukmu yaduuru ma’a illatihi). Dengan begitu akan melahirkan banyak kreasi dan inovasi di kalangan umat Islam. Seperti pada zaman ke-emasan Islam banyak bermunculan karya-karya monumental yang sangat bermanfaat buat kehidupan manusia. Sehingga ajaran Islam tidak dipahami dan diajarkan secara kaku. Tapi secara luwes dan menyenangkan.
Kini sudah waktunya kita mendefinikan muslim adalah orang yang minimal mengerjakan shalat fardlu lima waktu dan beriman kepada Tuhan satu (Allah swt). Apa pun perbedaan furu’iyahnya jangan sampai mendistorsi kedudukan sebagai seorang muslim. Dengan begitu, insyaAllah teori Penjajah Belanda yang mengkotak-kotakkan kaum muslimin tidak berlaku lagi. Al-Ittihadu quwwatun wal jama’atu barakatun. Semoga persatuan umat Islam terbangun dengan satu pandangan li-izzil Islam wal-muslimin. Demi memuliakan ajaran Islam dan umat Islamnya. Sekian wallhu a’lam. (*)