Oleh: K.H. A. Mahfudz AnwarKetua MUI Kota DepokSALAH satu aspek intelektual dalam dunia ilmu adalah dikenal dengan kognisi. Aspek ini selalu terkait ketika seseorang membicarakan aspek pembelajaran akademis. Bahkan semua pakar pendidikan selalu mendasarkan penilaian kesuksesan suatu pembelajaran selalu diukur dengan aspek kognisi ini.
Padahal kalau kita merujuk pada ajaran Islam diketahui bahwa kognisi ini tidak mampu menghasilkan kebenaran mutlak. Bahkan penilain pada aspek kognisi sebenarnya hanya melihat atau menilai dari sisi kulit saja. Dan itu bukan tujuan utama dalam upaya mencari Ilmu Pengetahuan.
Karena mencari ilmu itu sejatinya untuk merubah perilaku yang kurang baik menjadi baik. Perilaku yang baik agar menjadi lebih baik. Yang tidak terampil menjadi lebih terampil dalam setiap materi yang dipelajari.
Dan aspek kognisi ini merupakan aspek nalar yang berdasar pada penglihatan panca indera. Sedangkan seperti diketahui bahwa panca indera merupakan organ yang sangat rentan pada kekeliruan yang diakibatkan oleh keterbatasan kemampuan indrawi. Sebagaimana yang sering dicontohkan adalah ketika seseorang melihat sepasang rel kereta api yang panjang, semakin jauh penglihatannya, maka semakin merapat antara kedua rel kereta api tersebut. Padahal ketika diteliti lebih dalam lagi, akan mendapatkan kenyataan bahwa rel kereta api itu tidak ada yang merapat atau dempet. Ia tetap mempunyai jarak yang sama dari ujung ke ujung. Tapi mata (Indra penglihatan) ternyata dapat dikelabuhi oleh jarak meter atau kilo meter.
Demikian juga ketika berbicara kognisi yang secara umum merupakan hasil dari penglihatan atau pengamatan oleh mata kepala saja, bisa saja kesimpulan yang didapat juga tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Dan apabila itu menyangkut keselamatan jiwa manusia, bisa jadi sangat membahayakan.
Padahal orang berpikir tujuannya adalah untuk menolak bahaya. “Dar’ul mafaasid muqoddamun alaa jalbil mashalih : menolak kerusakan harus didahulukan dari pada kepentingan untuk menarik keuntungan”. Misal ketika ada hama atau ulat yang menyerang tanaman kita, bukan kita pupuk terlebih dahulu tanaman itu, tapi kita semprot dengan insektisida atau racun yang bisa mematikan hama tersebut. Sehingga hamanya mati, tanamannya terselamatkan. Baru setelah itu diberi pupuk agar tumbuh lebih subur.
Demikian juga dengan kehidupan ini, jika hanya berdasar pada aspek kognisi saja bisa dimungkinkan terjadi kesalahan baik sedikit atau besar. Dan kesalahan kecil yang terpola dalam kerutinan bisa mendistorsi kebenaran yang telah dimiliki sebelumnya. Dan inilah salah satu bahaya jika intelektualitas manusia hanya terpola dengan konsep kognisi saja. Untuk itulah perlunya sinergitas antara otak/akal dengan hati dalam menangkap signal indrawi tersebut.
Maka dalam Islam diajarkan tadabbur atau merenung. Yaitu merenungkan sesuatu yang ditangkap oleh indra manusia lalu diolah oleh akal dan hati. Dari konsep sinergitas inilah insyaAllah seseorang akan dapat menemukan kesimpulan yang tepat yang dikehendaki oleh Tuhan (Allah) yang telah membuat ajaran ini. Dengan begitu Ilmu apapun yang dipelajarai akan melahirkan kemaslahatan buat kehidupan manusia.
Dan itulah salah satu rahasia Ilmu yang dimiliki oleh para Ulama salaf. Mereka menulis buku atau kitab dengan menggunakan perangkat lahir-batin. Sebelum menulis sudah membersihkan diri dengan berwudlu, ketika memulai menulis mengucap lafadz Bismillah, ketika selesai menulis dikunci dengan lafadz Alhamdulillah. Dan karya-karya mereka sekalipun sudah ratusan tahun yang lalu, masih dibaca dan dikaji sampai zaman now.
Dan ilmunya masih tetap layak untuk dijadikan dasar bertindak, berbuat dan berperilaku. Hal ini sangat berbeda dengan buku-buku hasil karya para intelek yang hanya mendasarkan tulisannya pada kognisi indrawi tersebut. Hanya setahun, dua tahun atau hitungan tahun saja sudah tidak ada yang mau membaca lagi.
Di sinilah bukti kehandalan peran hati yang turut serta dalam pemaparan karya ilmiah. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa ternyata manusia sangat butuh pada pendasaran Ilmu pada aspek hati. Dan Iman-lah yang bisa menyeleksi signal indrawi yang masuk ke dalam diri manusia. Dari hasil filter keimanan itulah maka akan lahir perilaku yang mendekati kebenaran mutlak. Karena perilaku tersebut sudah terseleksi dengan baik oleh hati yang baik juga.
Sehingga kesimpulan yang diubah menjadi perilaku inilah yang dinamakan perbuatan terbimbing. Yakni terbimbing oleh hidayah dari Allah SWT yang biasa dicari orang dalam ranah spiritual. Jadi azas spiritualism dalam dunila ilmiah yang sesungguhnya dibutuhkan oleh manusia zaman modern seperti sekarang ini. Jadi pemaknaan Ilmu tidak sekedar berdasar Indrawi saja, tapi lebih jauh melibatkan perenungan (tadabbur).
Dan tentunya perenungan yang dimaksud adalah objek yang di ajarkan dalam Al-Qur’an. Secara nalar kita ini tidak boleh lepas dari konteks Al-Qur’an. Sejauh apapun kita berpikir, kalau masih lepas dari nalar Al-Qur’an, akan terjadi resistensi pola pikir. Maka sudah waktunya kita kembali kepada ajaran Rasulullah SAW yang memerintahkan agar selalu membaca Ayat-ayat Al-Qur’an, baik membaca secara tekstual maupun kontekstual. Sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. An-Nisa’:82.
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”.
Jadi jelaslah bahwa dasar dari tataran Ilmiah itu semestinya bersumber dari Al-Qur’an, karena Al-Qur’an datangnya dari Allah SWT. Sehingga diperoleh kebenaran mutlak. Karena kebenaran yang mutlak hanya datang dari Yang Maha Mutlak (Allah Rabbul Jalali). Wallahu a’lam. (*)