Minggu, 21 Desember 2025

Catatan HPN 2018: Tulis, Baca dan Perlu

- Jumat, 9 Februari 2018 | 09:10 WIB
FOTO: Rusdy Nurdiansyah
Wartawan Senior Republika, Ketua Pembina Depok Media Center (DMC) Enak Dibaca dan Perlu. Tag line Majalah Tempo yang cukup terkenal itu mengilhami perjalanan karir saya selama 25 tahun menjadi wartawan. Menulis untuk enak dibaca dan dianggap perlu, tentu sangat membanggakan bagi seorang wartawan. Apalagi kalau tulisan tersebut dapat mencerdaskan dan membuat perubahan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Pada zaman era informasi teknologi (IT) yang memberikan akses begitu mudah mendapatkan dan memberi informasi sehingga dunia dalam genggaman, tidak bisa dipungkiri  telah merubah tatanan dan pola kehidupan masyarakat. Pers mau atau tidak harus bisa beradaptasi dengan perubahan itu. Dengan bantuan teknologi komunikasi yang kian personalized, praktis setiap orang di sudut dunia yang berbeda-beda kini sama-sama memulai pagi dengan berita, menjalani hidup dengan berita, dan menutup hari dengan berita. Begitulah, media dan informasi melekat pada kehidupan sehari-hari dalam suatu hubungan intim yang demikian ekstrem, mengubah kehidupan manusia dan mentransformasi masyarakat dalam cara dan akibat yang sebelumnya sulit dibayangkan. Saat ini, pers adalah kekuatan yang luar biasa! Begitu kuatnya kekuasaan pers hingga ada pendapat ahli yang menyebut ia bisa membentuk kenyataan dan mengonstruksi kebenaran. Mungkin ini yang dimaksud dalam teori-teori sosial sebagai the politics of truth, siasat atau upaya menentukan dan memengaruhi kesadaran publik supaya sesuatu dianggap benar atau dianggap salah. Kebenaran lalu jadi relatif, terserah bagaimana pers menyajikan, dan bergantung intensitas dan frame pemberitaan. Dengan kekuatan ini, perlu dicatat, pers bisa membentuk siapa pahlawan dan siapa penjahat. Sebuah real power yang sangat besar! Bilamana kekuasaan pers digunakan dengan benar? Demokrasi, dalam arti paling sederhana, adalah pemerintahan yang tumbuh berdasar kedaulatan rakyat. Partisipasi dalam demokrasi hanya bisa terselenggara dengan baik jika publik dapat informasi yang baik. Di sinilah fungsi pers menjadi penting karena partisipasi demokratis warga hanya bisa efektif oleh adanya kebebasan pers. Kebebasan pers adalah janji dan fondasi dari suatu open society. Pers dalam demokrasi mengerjakan tugasnya dengan benar manakala pers mampu memperkuat dan membuat efektif nalar publik yang berfungsi memeriksa semua bentuk relasi, tujuan, dan kepentingan politik dengan memanfaatkan ruang kebebasan berupa aksesibilitas publik pada informasi, plus kebebasan berpikir, berpendapat, dan menyatakannya. Lebih jauh, nalar publik adalah representasi partisipasi yang tecermin dalam perbincangan warga yang serius mengenai konstitusi, kebijakan, dan berbagai praktik penyelenggaraan kekuasaan negara. Namun, partisipasi dan keterlibatan warga bukanlah sekadar asal ikut, asal tampil, asal muat, dan sekadar sensasional. Nalar publik harus ditandai kehendak ke arah kebaikan yang sifatnya universal. Bagi saya, pers harus mampu berdiri mengatasi berbagai prasangka, dan sebaliknya dengan profesionalisme yang kuat dan nyata, mendorong dan merawat nalar publik yang sehat, yang memajukan martabat dan kemanusiaan Indonesia dalam segala cuaca. Paradoks yang menjadi tantangan dari setiap media dan pekerja pers di Indonesia saat ini adalah bagaimana pers tetap memelihara diri sebagai kekuatan etis yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Pers di Indonesia tidak lagi dihantui oleh bayang-bayang pemerintah yang otoriter seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Saat ini pers mendapatkan kebebasan dalam menyampaikan berita apapun baik itu yang sifatnya memuji atau mengkritik pemerintah sekalipun tanpa sedikitpun dapat diintervensi. Bersikap independen namun bertanggung jawab. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Pasal 1 memaklumkan jati diri yang sangat terang dan berani dari sosok seorang wartawan yang profesional yakni "Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Frasa ”independen” menyadarkan saya, tugas pers memang bukan melayani kepentingan yang terfragmentasi, bukan abdi kepentingan kekuasaan, apalagi kepentingan sensasi diri, melainkan melayani kemanusiaan dan nurani! Adalah demokrasi yang memberikan kebebasan kepada pers. Di dalam kebebasan itu, kita kini tentu bisa bicara tanpa prasangka mengenai tanggung jawab pers. Tanggung jawab ini mesti dibicarakan, justru karena adanya kekuatan kebebasan mengalir di dalam nadi pers Indonesia. Tanggung jawab ini perlu dipenuhi karena kini pers punya kekuasaan luar biasa. Dengan independensi dan tanggung jawab, profesi pers Indonesia diharapkan menghasilkan tulisan yang enak dibaca dan perlu. Selamat Hari Pers Nasional (HPN) 2018. (*)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

Membangun Komunikasi Inklusif Bagi Difabel

Kamis, 11 Desember 2025 | 19:43 WIB

Satu Negeri Dua Realitas

Jumat, 28 November 2025 | 08:55 WIB

Pahlawan Hari Ini

Senin, 10 November 2025 | 19:20 WIB

Menembus Pasar Internasional dengan Produk Daur Ulang

Selasa, 16 September 2025 | 19:56 WIB
X