Senin, 22 Desember 2025

Menyemai Nilai-Nilai Kearifan Budaya

- Kamis, 19 April 2018 | 09:03 WIB
Muqorobin Oleh: Muqorobin*)   Selama era reformasi terakhir ini, dunia pendidikan di Indonesia secara kuantitatif telah menunjukkan trend perkembangan. Data laporan resmi yang dirilis oleh global monitoring education (GEM) UNESCO 2016 menyajikan jika angka putus sekolah dasar mengalami penurunan dari 2,62 persen pada tahun 2000 menjadi 0,26 persen pada 2015. Di sisi lain, dalam hal pencapaian indeks prestasi pendidikan juga menunjukan peningkatan. Dalam laporan hasil peringkat dan capaian nilai Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia, pada tahun 2012, Indonesia berada pada peringkat 71, tahun 2015 naik pada peringkat 64. Sementara itu, berdasarkan nilai median, capaian membaca siswa Indonesia juga meningkat dari 337 poin di tahun 2012 menjadi 350 poin pada 2015. Sayangnya, torehan prestasi itu terasa tidak lengkap karena perkembangan pendidikan tidak diikuti secara konsisten dengan peningkatan kualitas praktik yang berorinetasi pada penanaman nilai-nilai kearifan budaya bangsa bagi peserta didik. Akibatnya, muncul berbagai persoalan sosial dan moral di kalangan generasi muda, seperti, maraknya penyalahgunaan narkoba, adiksi gadget dan game, perilaku mencontek saat ujian, tidak disiplin, bullying, pudarnya rasa hormat terhadap guru, lunturnya nilai-nilai kebangsaan dan menurunnya budaya kerja keras. Memang tidak adil menimpakan segala permasalahan sosial dan moral generasi muda pada praktik pendidikan, karena faktanya juga terdapat variabel lain yang memiliki andil mempengaruhinya. Meski demikian, perlu kiranya melakukan elaborasi secara lebih jauh terhadap sistem dan praktik pendidikan di sekolah. Sudahkah sistem pendidikan merancang pendidikan yang berbasis pada penguatan nilai-nilai kearifan budaya secara utuh dan konsisten? Sudahkah sekolah memberikan ruang yang proporsional dalam penguatan nilai-nilai kearifan budaya yang terintegratif dalam setiap proses pendidikan? Atau justru sebaliknya, proses pendidikan tersebut masih setengah hati dalam penguatan nilai-nilai kearifan budaya? Disorientasi Pendidikan Pendidikan dimaknai sebagai proses menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai kearifan budaya bangsa pada peserta didik, yang bersumber pada agama, pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional. Pengejawantahan dari nilai-nilai itu meliputi sikap religiusitas, semangat kebangsaan, disiplin, toleransi, kerja keras, gotong royong, perilaku santun, kemandirian dan tanggung jawab. Dampak jangka panjang dari praktik pendidikan pada gilirannya akan membentuk perilaku sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama bagi pelakunya di masyarakat. Walau mungkin bukan satu-satunya, akan tetapi praktik pendidikan berperan penting dalam pembentuk nilai-nilai kearifan budaya dan menentukan kualitas moral. Abdul Kalam mantan presiden India menyatakan bahwa pendidikan melalui penguatan nilai-nilai budaya di klaim sebagai jalan terbaik untuk mengatasi kemiskinan, kesenjangan, perbedaan dan membawa suatu negara menjadi maju. Begitu juga Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Pendidikan secara praktis bukanlah sesuatu yang terpisah dengan nilai-nilai kearifan budaya dalam setiap gerak dan prosesnya. Oleh sebab itu, dalam konteks globalisasi budaya yang berjalan cepat, esensi prioritas pelaksanaan pendidikan harus mampu mengorientrasi pada tujuan akhir pendidikan yakni penguatan kemampuan secara intelektual dan penguatan nilai-nilai kearifan budaya pelaku pendidikan. Secara empiris, tampaknya upaya dan pencapaian tujuan akhir dari pendidikan tersebut masih menjadi masalah dan salah orientasi (disorientasi) yang membutuhkan perbaikan. Disorientasi pertama, penyiapan dan pengembangan guru melalui program sertifikasi guru  selama ini lebih menekankan pada aspek kemampuan yang bersifat penguasaan materi ajar dan keterampilan pedagogis. Aspek penguatan orientasi nilai-nilai kearifan budaya dalam proses pengembangan guru belum menjadi agenda prioritas dan kebutuhan mendesak untuk perbaikan mutu guru sebagai garda terdepan pelaksana pendidikan. Akibatnya, lahirlah guru-guru yang sekedar mengejar target angka dari hasil belajar, ketimbang memperkuat jati diri anak didiknya dengan penguatan nilai-nilai kearifan budaya untuk bekal hidup yang sesungguhnya. Tidak heran jika peran guru sebagaimana dalam laporan studi Bank Dunia (2013) dinyatakan belum memberikan dampak perbaikan terhadap peningkatan mutu pendidikan seutuhnya. Disorientasi kedua, hakikat pelaksanaan pembelajaran yang masih minim dalam penekanan potensi peserta didik berbasis pada nilai-nilai kearifan budaya. Pada praktiknya pembelajaran pada setiap mata pelajaran masih terfokus pada penguasaan materi yang sifatnya tektual-normatif, alih-alih menyisipkan nilai-nilai kearifan budaya dalam bahan materi ajar. Guru dalam menyajikan bahan ajar dan cara ajar belum sepenuhnya memberanikan diri untuk memasukkan nilai-nilai kearifan budaya. Domain penguatan nilai-nilai kearifan budaya hanya ditekankan pada mata pelajaran tertentu seperti mata pelajaran Agama, PKn, Bahasa dan Seni-Budaya. Betapa memperihatinkan karena ketidakpahaman dan keengganan membuka ruang diskusi terbuka dalam kajian bahan ajar dan cara ajar antar guru, sekolah justru membuat kebodohan terorganisir dan memantik lemahnya penguatan nilai-nilai kearifan budaya bagi peserta didik. Jika anggapan “kebenaran” karena ketidakpahaman ini dibiarkan berlanjut, maka orientasi praktik pembelajaran secara konvensional seperti sekolah hanya untuk menambah pintar, mengejar nilai angka dan memperoleh ijazah, akan semakin menguat. Ini akan menjadi pemicu keterlambatan penguatan pendidikan berbasis budaya dan menghasilkan orang-orang pintar tak berbudaya. Disorientasi ketiga, kegagalan memahami dan mengimplementasikan ujian nasional (UN), yang hanya di orientasikan pada pencapaian hasil berupa nilai angka. Sejujurnya ujian nasional sebagai evaluasi tidak saja dimaksudkan untuk mengukur dan meningkatkan kemampuan akademik, tetapi juga mengevaluasi pelaksanaan program pendidikan di sekolah termasuk dalam pelaksanaan penguatan nilai-nilai kearifan budaya. Oleh karena, orientasi ujian nasional sudah terlanjur didesain untuk memotret capaian yang berupa angka an sich, maka keberadaan nilai-nilai kearifan budaya tersebut terasa menjadi tidak penting dan bahkan tidak jarang dilanggar demi pencapaian hasil ujian yang semu. Komponen Penting Guna mewujudkan praktik pendidikan yang memfasilitasi peserta didik menyemai nilai-nilai kearifan budaya, perlu setidaknya membenahi komponen pendidikan. Pertama, pembekalan guru menyentuk semua kompetensi termasuk aspek nilai-nilai kearifan budaya. Guru sebagai ujung tombak pelaku pendidikan perlu mendapat pembekalan secara teoritik dan praktik terkait pelaksanaan pendidikan berbasis nilai-nilai kearifan budaya. Dalam konteks ini, pembekalan guru selain bertujuan untuk memperkuat jati diri guru sebagai teladan, juga memudahkan guru dalam melakukan tugas mendidik. Kedua, bahan ajar dan cara ajar yang mengintegrasikan nilai-nilai kearifan budaya. Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru bersama siswa dapat dilakukan dengan mengintegrasikan lebih banyak nilai-nilai kearifan budaya dalam setiap mata pelajaran tanpa kecuali. Misalnya, dalam setiap kegiatan awal pembelajaran dapat disampaikan kisah tokoh yang menginspirasi. Mengulas sisi keteladanan, ketekukan, kesabaran dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya dari tokoh tersebut akan mendorong peserta didik untuk mencontoh dan pembelajaran juga lebih bermakna. Begitu juga dengan cara ajar, perlu diperkaya dengan memberikan ruang pada peserta didik untuk berpikir dan membentuk nilai-nilai kearifan budaya dalam diri. Cara pengajaran bermakna seperti ini tentunya mensyaratkan guru untuk memahami entitas peserta didik secara utuh, menguasai bahan ajar dengan mendalam dan memiliki spirit belajar sepanjang hayat. Ketiga, pemahaman dan pelaksanaan ujian nasional dijadikan ajang untuk menguji dan memperkuat konsistensi pelaksanaan nilai-nilai kearifan budaya. Dalam kerangka normatif, pelaksanaan ujian nasioanl selain bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan peserta didik, juga dapat dimanfaatkan untuk menguji dan memperkuat nilai-nilai kearifan budaya. Misalnya, dengan adanya pencapaian hasil ujian sekolah berbasis nasional (USBN) dan ujian nasional  dapat dilihat tingkat kejujuran siswa dan guru. Asumsinya, kalau nilai USBN diperoleh dengan pencapaian yang tinggi mestinya berkorelasi terhadap tingginya pencapaian nilai UN, itulah letak ujian kejujuran dalam pelaksanaan ujian nasional. Dengan pembenahan tiga komponen di atas, peserta didik akan mampu mengoptimalkan segala potensi yang di milikinya melalui praktik pendidikan yang dilakukan guru yang berkualitas. Pada gilirannya hal itu akan menghasilkan upaya pembelajaran yang memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir terbuka. Terakhir, kemampuan berpikir terbuka melalui pembelajaran dan ujian nasional yang berbasis pada kejujuran akan menjadi media utama untuk menyemai nilai-nilai kearifan budaya. (*) *)Guru SMA Avicenna Jagakarsa

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

Membangun Komunikasi Inklusif Bagi Difabel

Kamis, 11 Desember 2025 | 19:43 WIB

Satu Negeri Dua Realitas

Jumat, 28 November 2025 | 08:55 WIB

Pahlawan Hari Ini

Senin, 10 November 2025 | 19:20 WIB

Menembus Pasar Internasional dengan Produk Daur Ulang

Selasa, 16 September 2025 | 19:56 WIB
X