FOTO: Supartono, Pengamat Sepakbola Nasional
Oleh Drs. Supartono, M.Pd*)
Polemik Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2018 terus berlanjut. Ironisnya, polemik yang sudah setara seperti sedang terjadi bencana alam nasional ini, kurang direspon oleh Pemerintah dalam hal ini oleh Kemendibud. Padahal polemik ini terjadi di ranah kawah candradimuka lahirnya para cedekiawan bangsa dan negara, yaitu di sektor pendidikan dasar dan menengah yang menjadi pondasi dan dasar maju dan berkembangannya bangsa ini.
Cikal bakal pemeimpin bangsa Indonesia yang akan didik di bangku SD, SMP, dan SMA/SMK kini sedang terkena musibah “Sistem Zonasi”.
Siapa yang melarang dan siapa yang akan menentang Pemerintah bila dalam menyoal pendidikan yang juga masuk dalam nawa cita Presiden, lahir sistem pendidikan yang membela kepentingan rakyat banyak?
Coba kita tengok, bagaimana niatan Pemerintah untuk perihal sistem zonasi dalam PPDB tahun 2018. "Sistem zonasi merupakan landasan pokok penataan reformasi sekolah secara keseluruhan mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA)," ujar Muhadjir Effendy dalam acara buka bersama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Jakarta, Rabu (23/5/2018).
Masih pendapat Muhadjir, bahwa melalui sistem zonasi, bisa diperkirakan berapa lulusan untuk masing-masing jenjang pendidikan. Contoh misalnya, untuk jenjang SMP di sebuah daerah yang lulus sebanyak 300 siswa, namun yang masuk ke SMA hanya 200 siswa. Dari kondisi tersebut, sekolah bersangkutan dapat mencari kemana 100 siswa lainnya. Sekolahlah yang pada nantinya memiliki inisiatif untuk mencari siswa yang tidak sekolah, sehingga wajib belajar 12 tahun bisa dimanfaatkan. Luar biasa cita-cita Bapak Menteri kita ini.
Diberlakukannya sistem zonasi, afirmasi yang diberikan adalah dari sekolah maju membina sekolah yang belum maju. Afirmasi dapat dipahami sebagai pernyataan positif atau kalimat yang ditujukan untuk diri sendiri yang bisa mempengaruhi pikiran bawah sadar untuk membantu Anda mengembangkan persepsi yang lebih positif terhadap diri Anda sendiri.
Dengan demikian, tujuan utama dari diberlakukannya sistem zonasi ini dapat dikatakan bahwa, pendidikan di Indonesia di masa mendatang tidak ada lagi istilah sekolah favorit.
Tanpa uji coba/kelayakan/validasi?
Maksud dan tujuan Pemerintah sungguh luar biasa, maka dari itu, kendati tahun pelajaran baru jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK 2018/2019 bergulir mulai dari proses penerimaan di bulan Juni 2018, Kemendibud melucurkan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018, yang bahkan baru diteken pada tanggal 2 Mei 2018 oleh Muhadjir.
Demi menghilangkan jejak istilah nama sekolah favorit, untuk pemerataan pendidikan dan meminimalisasi mobilitas siswa ke sekolah tertentu, serta memanfaatkan momentum wajib belajar 12 tahun, seakan Pemerintah mengabaikan persoalan-persoalan yang pasti akan terjadi dan akan muncul dengan berlakunya Permendikbud tersebut.
Turun dan berlakunya Permendikbud ini benar-benar menjadi musibah pendidikan nasional. Mewabah dan parah di seluruh daerah. Memicu kontroversi, memicu ketidakadilan dan peri kemanusiaan, memicu kejahatan adminstrasi, dan memberikan kesempatan masyarakat dan pihak sekolah berbuat curang.
Sebab, berlakunya Permendikbud, tidak diawali dengan uji coba atau sejenisnya. Tidak ada uji validasi atau sebangsanya, pun sosialisasi tidak masif ke seluruh masyarakat secara umum, dan khususnya ke pelaksana teknis penerimaan peserta didik baru, yaitu personal-personal yang menggawangi SD, SMP, dan SMA/SMK di seluruh Indonesia. Sehingga dampak dan masalah yang timbul dari kebijakan Permendikbud PPDB tahun 2018 sangat parah di berbagai daerah seluruh Indonesia.
Mengapa Pemerintah tidak belajar dari pemberlakuan sistem kendaraan ganjil genap misalnya. Atau semua sistem baru apapun demi kemajuan bangsa dan negara yang digelontorkan oleh Pemerintah ataupun pihak swasta, yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang selalu mengutamakan persiapan matang, ada pemetaan lapangan, ada penelitian, ada uji validasi, ada uji coba, dan lain sebagainya, sehingga saat sebuah sistem baru benar-benar resmi diterapkan, tidak membuat gagap pemangku kepentingan dalam teknis pelaksanaan, serta tidak membuat musibah bagi rakyat. Permendikbud Nomor 14 ini menyoal pendidikan lho. Vital sekali!
Sebagai analogi, misal saya ambil contoh masalah, untuk memberlakukan sistem ganjil genap kendaraan yang melalui jalan tol saja, sebuah Pemerintah Daerah melakukan uji coba terlebih dahulu. Bahkan, sebelum uji coba diberlakukan, sosialiasi telah disebar ke berbagai tempat, media cetak, media elektronik, media sosial, sehingga masyarakat memahami berbagai hal menganai teknis tentang sistem ganjil genap di jalan tol. Setelah prosedur tentang uji coba dilakukan pun, saat sistem ganjil genap resmi diberlakukan, di lapangan tetap terjadi kekisruhan. Bagaimana dengan Permendikbud Nomor 14 ini?
Mengapa Bapak Menteri tidak melakukan uji coba Permendikbud di DKI saja dulu sebelum menerapkan untuk skala nasional. Atau uji coba di Jabodetabek misalnya. Atau coba Bapak Menteri ricek berapa jumlah sekolah negeri mulai dari SD, SMP, dan SMA/SMK di Depok saja, yang dekat dengan Pemerintahan Pusat.
Di Depok saja banyak sekali pemukiman warga yang jauh dari sekolah negeri. Ketersediaan sekolah negeri tidak sebanding dengan jumlah peserta didik yang akan masuk sekolah negeri. Hasil PPDB tahun ini, berapa jumlah orangtua yang mengadu dan menangis di DPRD Kota Depok. Depok adalah Kota yang terletak sangat dekat dengan Pusat Pemerintahan Republik Indonesia. Bagaimana kejadian serupa tidak terjadi di daerah lain? Hampir di seluruh daerah Indonesia, menangis berjamaan antara anak dan orangtua menjadi tontonan di televisi yang memiliki rating tinggi.
Apakah Pemerintah paham Pemetaan Lokasi Sekolah?
Berlakunya Permendikbud Nomor 14 yang kurang dari satu bulan sejak diresmikan di PPDB tahun 2018, luar biasa telah menuai masalah. Rabu, (11/7/2018), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima banyak sekali pengaduan dari orang tua mengenai pelaksanaan PPDB tahun 2018 yang banyak menuai kontroversi, di antaranya menyoal indikator penerimaan, sistem zonasi, hingga pemalsuan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) oleh orang tua agar siswa dipermudah mendapatkan kursi di sekolah yang diinginkan.
Lalu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada Rabu (11/7), melalui Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo mengatakan pengertian di sejumlah pasal Permendikbud 14/2018 tentang PPDB dan sistem zonasinya itu cukup bias.
Dengan serta merta tanpa memetakan terlebih dahulu keberadaan dan jumlah SD, SMP, dan SMA/SMK di setiap Kecamatan/Kelurahan/Pemukiman, lalu menurunkan aturan sistem zonasi, adalah persoalan paling musibah bagi pendidikan kita saat ini.
Anak-anak yang selama ini giat belajar dengan mengejar nilai tinggi demi dapat masuk sekolah idaman, terlepas itu anak-anak dari golongan miskin atau kaya, kini terhukum oleh aturan zonasi, kalah bersaing dengan anak-anak/peserta didik yang rumahnya dekat dengan sekolah.
Masalah dekat dengan sekolahpun akhirnya banyak dijadikan lahan kecurangan oleh masyarakat dengan numpang tinggal di rumah saudara demi masuk di sekolah yang dituju, gara-gara sistem zonasi ini.
Di luar masalah zonasi, bangsa ini juga menjadi terdidik dengan budaya pemalsuan. Ribuan Surat Keluarga Ekonomi Tidak Mampu (KETM), dibuat oleh instansi berwenang demi membantu orangtua agar anaknya diterima di sekolah yang dituju. Karena tidak ada cara lain. Sudah terjerat aturan zonasi, anaknya mendapat Nilai Ebtanas Murni (NEM) pun tidak berguna. Meski sudah berjuang dari jauh tahun mengikuti bimbel dan tambahan belajar.
Sistem PPDB tahun ini benar-benar telah menuai problematika di sana-sini, termasuk anak-anak/peserta didik tanpa disadari diajarkan oleh orangtua maupun masyarakat lain bagaiaman berbuat curang dari awal sebelum masuk dan duduk di bangku sekolah, ini adalah kejahatan pendidikan karakter, yang langsung didik oleh orangtua. Sistem ini pun menuai hasil, maraknya oknum yang menjual belikan kursi bangku sekolah kepada orang tua.
Bukankah sikap dan perlakuan tersebut adalah awal mula dari lahirnya budaya kolusi, korupsi, dan nepotiseme (KKN) yang selama ini menjadi musuh besar bangsa ini? Sangat terpuji Pemerintah melalui Kemendikbud ingin menghapus budaya sekolah favorit. Namun, siapa dulu yang menciptakan iklim persaingan akan lahirnya sekolah favorit, sekolah yang mempunyai program percepatan dan sebagainya? Apakah pihak guru dan sekolah? Bukankah itu juga dicetuskan oleh program pemerintah?
Bapak Presiden Jokowi, tengoklah musibah dari Permendikbud ini. Pemerintah wajib segera meninjau Bab dan pasal yang menimbulkan kerancuan dalam alih jenjang baik dari SMP ke SMAN/SMKN dalam bentuk PPDB jalur SKTM. Selanjutnya, perlu ada penegasan alasan pada pasal tentang migrasi dukcapil dalam satu KK paling lambat enam bulan. Selain itu, Kemendikbud bersama Dinas Pendidikan terkait seharusnya memetakan kembali zonasi secara cermat hingga tingkat kelurahan/desa. Selain itu perlu ada peningkatan sarana pendidikan seperti mendirikan sekolah-sekolah di tiap kecamatan untuk alih jenjang demi terjadi pemerataan pendidikan.
Lebih dari itu, kepada para orang tua dan pengurus RT/RW agar bertindak jujur terkait SKTM. Pembuatan SKTM oleh oknum keluarga mampu hanya demi bisa bersekolah di sekolah favorit tertentu, dapat merugikan peluang calon siswa lainnya.
Tidak ada maksud pembuatan peraturan dan sistem demi perbaikan dan kemajuan adalah memiliki maksud untuk merugikan. Demikian juga dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018 tentang penerimaan peserta didik baru (PPDB), yang ditandatangani Menteri Muhadjir Effendy pada tanggal 2 Mei 2018. Tujuannya tentu demi terjaminnya pemerataan pendidikan dan meminimalisasi mobilitas siswa ke sekolah tertentu. Sayang, terbitnya peraturan kurang diimbangi oleh sosialisasi yang masif oleh Kemendikbud baik kepada pihak sekolah maupun kepada masyarakat.
Yang pasti PPDB SMP dan SMA/SMK tahun 2018 di Indonesia ada gagal paham (misunderstanding) terhadap permendikbud baik oleh sekolah maupun masyarakat. Siapa yang tidak dapat menginterpretasi dengan benar Permendikbud itu? Pemerintah Daerah (Pemda), pihak sekolah, atau orangtua? Bila sekolah dan orangtua sejak awal mulai anak-anak kita dididik sudah menabung ketidakjujuran, karena sistem yang lemah, apakah hasil pendidikan mereka akan berkah?
Intrik, taktik, dan kecurangan, selama ini lekat dengan dunia politik, apakah dengan sistem PPDB yang masih lemah dan kurang sosialiasi akan dibiarkan mewabah ke jalur pendidikan? Saling menguntungkan dan saling merugikan masyarakat? Sistem zonasi, memang menjadi berkah bagi peserta didik yang bermukim dekat sekolah, namun sekaligus musibah bagi peserta didik yang tinggal jauh dari lingkungan sekolah. (Supartono JW.13072018). Tinggal pemerintah menghitung, lebih banyak mana yang mendapat berkah dan musibah. (*)
*)Pengamat Pendidikan Nasional dan Pengamat Sosial
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Terkini
Kamis, 11 Desember 2025 | 19:43 WIB
Minggu, 30 November 2025 | 18:13 WIB
Jumat, 28 November 2025 | 11:52 WIB
Jumat, 28 November 2025 | 08:55 WIB
Senin, 10 November 2025 | 19:20 WIB
Senin, 10 November 2025 | 14:10 WIB
Jumat, 31 Oktober 2025 | 20:04 WIB
Rabu, 29 Oktober 2025 | 18:05 WIB
Selasa, 28 Oktober 2025 | 17:53 WIB
Senin, 27 Oktober 2025 | 13:06 WIB
Jumat, 24 Oktober 2025 | 13:50 WIB
Kamis, 23 Oktober 2025 | 11:48 WIB
Selasa, 21 Oktober 2025 | 17:05 WIB
Kamis, 16 Oktober 2025 | 17:36 WIB
Rabu, 15 Oktober 2025 | 22:52 WIB
Rabu, 15 Oktober 2025 | 22:29 WIB
Senin, 6 Oktober 2025 | 19:20 WIB
Jumat, 26 September 2025 | 16:36 WIB
Selasa, 16 September 2025 | 19:56 WIB
Senin, 15 September 2025 | 21:59 WIB