Oleh: Erik Kurniawan, S.Sos., M.Pd*)
Hoax menurut KBBI (Kamus Besar bahasa Indonesia) mengandung makna berita bohong, berita tidak bersumber. Sejatinya bukanlah hal yang baru dalam makna dan definisi. Istilah hoax sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Menurut Lynda Walsh dalam buku berjudul Sins Against Science, istilah hoax atau kabar bohong, merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang masuk sejak era industri. Diperkirakan pertama kali muncul pada 1808. Sementara untuk asal kata hoax diyakini berasal dari “hocusâ” dari mantra “hocus pocusâ”, frasa yang kerap disebut oleh para pesulap, yang mirip dengan sim salabimâ, yang sering diucapkan pesulap seperti Pak Tarno. Asal kata ini diungkapkan oleh filsuf asal Inggris, Robert Nares.
Saat ini banyak bermunculan hoax alias berita bohong. Hoax acapkali terkait dengan peristiwa yang menimpa dan terjadimdi masyarakat. Ketika di beberapa wilayah Indonesia terjadi silih berganti bencana alam, maka muncul beberapa hoax tentang jumlah korban, sebab-sebab terjadinya bencana, predeksi bencana yang akan terjadi dll. Ketika saat ini sedang masanya kampanye baik Pilpres (pemilihan presiden) maupun Pileg (pemilihan legistatif) maka muncul berbagai hoax untuk menyerang lawan politiknya. Hoax seolah-olah dibuat dan sengaja di sebarkan oleh pihak-pihak tertentu.
Hoax itu sesungguhnya lebih banyak tersebar melalui media sosial. Namun membuat prihatin adalah penerima berita tidak menyaring dan dengan mudah ikut membagikan (share) lagi ke pengguna media sosial lain. Pengguna medsos (media sosial) cenderung berinteraksi dengan orang yang memiliki ketertarikan yang sama dengan diri sendiri. Ketertarikan yang sama membentuk suatu kelompok dan kelompok tersebut terkadang bertumpu pada opini pemimpin mereka yang memiliki pengaruh di jejaring sosial. Kabar bohong yang beredar di medsos, menjadi besar ketika diambil oleh situs atau pihak terkemuka yang memiliki banyak pengikut. Sehingga banyak yang menganggap berita hoax itu adalah berita asli.
Guna menanggulangi penyebaran hoax yang semakin marak di lingkungan masyarakat, lembaga pendidikan sejatinya punya peran besar dalam upaya mencegah hoax. Pada kurikulum 2013 menerapkan ketrampilan abad 21. Dalam ketrampilan abad 21, kegitan belajar mengajar akan meumbuhkan dan membentuk 4C yaitu : 1). Critical Thinking and Problem Solving, 2). Creativity and Innovation, 3). Communication, 4). Collaboration. Hal ini untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa dimasa yang akan datang. Adapun implementgasi peran ketrampilan abad 21 dalam mencegah hoax antara lain:
Critical Thinking (berpikir kritis)
Critical thinking atau berpikir kritis merupakan metode berpikir dengan cara skeptis, analitis, dan praktis untuk mengidentifikasi prasangka-prasangka, berita bias (isu keberpihakan), propaganda, kebohongan, distorsi (penyesatan), misinformasi (informasi yang salah), terhadap media yang sedang diberitakan. Kemampuan berfikir kristis yang dimiliki seseorang, akan mampu menelaah setiap berita yang diterimanya. Berita yang diterima, dianalisis apakah ini merupakan murni berita yang terjadi atau merupakan berita bohong yang tidak jelas sumbernya.
Creativity Thinking (berpikir kreatif)
Evans (1991) menjelaskan bahwa berpikir kreatif adalah suatu aktivitas mental untuk membuat hubungan-hubungan (conections) yang terus menerus (kontinu), sehingga ditemukan kombinasi yang “benar” atau sampai seseorang itu menyerah. Pada bagian ini, peserta didik perlu memiliki kemampuan untuk mengembangkan, melaksanakan, dan menyampaikan gagasan-gagasan baru kepada yang lain, bersikap terbuka dan responsif terhadap perspektif baru dan berbeda. Jika menerima berita hoax, siswa perlu berfikir ktreatif sehingga kabar hoax tersebut mampu dieliminir dan kabar hoax tersebut dibalas dan dibantah dengan kabar yang benar. Khususnya dengan tulisan-tulisan pembanding yang yang unik, menarik dan kreatif.
Communication (komunikasi)
Pengertian komunikasi dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita dari dua orang atau lebih agar pesan yang dimaksud dapat dipahami. Peserta didik dituntut untuk memahami, mengelola, dan menciptakan komunikasi yang efektif dalam berbagai bentuk dan isi secara lisan, tulisan, dan multimedia. Tahap ini, siswa dirangsang untuk mampu menyampaikan apa yang ada dalam pikiran dan disampaikan kepada orang lain atau sekelompok orang. Berbekal kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif, siswa diharapkan menginformasikan dengan baik hal-hal yang benar dan bukan suatu berita dan pemahaman yang bohong.
Collaboration (kerjasama)
Pada tahap ini, siswa menunjukkan kemampuannya dalam kerjasama di dalam kelompok dan beradaptasi dalam berbagai peran dan tanggung jawab. Peserta didik juga menjalankan tanggung jawab pribadi dan fleksibitas secara pribadi di sekolah, keluarga, oraganisasi dan lingkungan masyarakat. Sehingga dalam kerjasama disegala bidang dan tempat perlu dilandasi sikap jujur dan menghindari untuk menyampaikan berita-berita bohong.
Werme (2016), mendefiniskan Fake news sebagai berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu. Jika menggunakan analisis Werme tersebut, maka hoax dengan agenda politik sangatlah berbahaya. Politik merupakan upaya untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan, sehingga apabila kekuasaan tersebut di diperoleh atau dipertahankan dengan cara-cara menggunkan hoax maka sangatlah berbahaya. Karena kebohongan satau akan ditutupi dengan kebohongan yang lainnya.
Maka lembaga pendidikan sebagai salah satu lembaga sosoial yang mencetak generasi terdidik penerus bangsa harus mampu meminimalisir dan mencegah hoax. (*)
*)Guru ASN di UPTD SMPN 17 Depok