Senin, 22 Desember 2025

Stop Bullying dalam Debat di Layar Kaca!

- Sabtu, 31 Agustus 2019 | 05:13 WIB
  Oleh: Supartono JW*) Pengamat pendidikan nasional, dan sosial, tinggal di Kota Depok   Orang-orang cerdas dan profesional seringkali sengaja melakukan tindakan yang salah demi memeroleh keuntungan pribadi dan golongan. (Supartono JW.14082019)   KISAH Pilpres telah usai, muncul rencana pindah ibu kota Negara RI. Sisa Pilpres saja masih menuai perdebatan, apalagi kini muncul kisah pindah ibu kota yang di nilai sepihak oleh kalangan politisi di DPR, karena Presiden (ekskutif) memutuskan sendiri tanpa ada koorinasi dengan DPR, lalu setelah memtuskan baru berkirim surat ke DPR (legislatif) untuk persetujuan.  Padahal kalau prosedurnya benar sesuai peraturan ketatanegaraan, siapa sih, yang pada akhirnya tidak akan setuju bila ibu kota memang harus pindah? Atas kasus pilpres dan pindah ibu kota, di media massa, para tokoh, elit politik, praktisi, pengamat, hingga publik figur, masih belum dapat menjadi teladan bagi rakyat. Mereka masih sibuk dan unjuk gigi dengan perilaku yang tidak layak dibaca di media cetak atau online, maupun dipertontonkan di saluran televisi. Seharusnya, setelah kisah Pilpres usai dan muncul masalah pindah ibu kota, para tokoh yang sering tampil di layar kaca atau sering beropini di media massa, justru dapat menjadi teladan bagi rakyat turut meredakan ketegangan yang masih terasa akibat kisruh Pilpres. Sayang, kini mereka justru terkesan menyeponsori diri sendiri agar semakin dikenal publik, namun dengan cara-cara yang tetap sama seperti saat mereka mewakili partai politiknya. Kini, khususnya di layar televisi, apapun topik yang dibahas, setiap tokoh yang diundang justru semakin gemar saling menjatuhkan individu atau kelompok dengan bahasa verbal dan kasar. Mereka justru terlihat bangga ketika kamera menyorot, lalu dengan lantang berbicara plus bahasa tubuh yang terang-terangan melecehkan lawan bicara. Sadarkah mereka bahwa sejatinya, apa yang mereka bicarakan secara verbal dan dipertontonkan di layar kaca esensinya bukan lagi diskusi dan berdebat secara sehat, namun sudah masuk kategori  saling mem-bully? Bila selama ini tindakan dan berita tentang  bullying sering terdengar dilakukan oleh siswa di sekolah, maka para tokoh, elit politik, praktisi, pengamat, hingga publik figur di layar kacalah yang terus gemar memerankan adegan bullying yang mereka lakukan dengan sadar. Bullying atau penindasan adalah perilaku agresif yang mengintimidasi dari individu maupun kelompok terhadap individu. Bila selama ini fenomena bullying di kalangan siswa cukup meresahkan masyarakat mengingat dampak bullying yang dapat berpengaruh besar pada kehidupan korban maupun pelaku, namun manakala para pendidik, pakar pendidikan, dan orangtua  gencar melakukan pencegahan bullying di sekolah dan masyarakat, justru para tokoh di layar kaca semakin tidak terkendali dalam melakukan aksi bullying terhadap sesama peserta diskusi atau peserta debat/dialog. Bullying dapat diartikan sebagai perilaku intimidasi. Bullying juga didefinisikan sebagai perilaku berulang yang dimaksudkan untuk melukai seseorang baik secara emosional maupun fisik. Perilaku bullying berpotensi diulangi seiring berjalannya waktu dan berpotensi menimbulkan masalah jangka panjang baik untuk korban maupun pelaku. Jika disimpulkan, maka bullyingdapat kita artikan sebagai perilaku intimidasi yang dapat dilakukan berulang untuk melukai individu baik emosional maupun fisik dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan di mana pelaku mendominasi dan korban menjadi pihak yang lemah. Menurut data KPAI pada tahun 2018, kasus bullying dan kekerasan fisik masih menjadi kasus yang mendominasi pada bidang pendidikan. Kasus yang tercatat bukan hanya kasus siswa yang tercatat mem-bully siswa lain, tapi juga termasuk kasus siswa yang melakukan bullying terhadap guru di sekolah. Kasus yang tercatat mungkin hanya sebagian kecil saja, karena masih banyak sekali pihak yang kurang mengerti atau bahkan tidak peduli terhadap isu bullying Namun, pernahkah KPAI mendata kasus bullying yang terjadi dalam acara diskusi/debat di layar kaca yang melibatkan para tokoh, elite politik, praktisi, pengamat, dan publik figur? Bila diidentifikasi, kasus bullying yang sering dipertontonkan di layar kaca dan tidak disadari bahwa hal tersebut sudah masuk dalam ranah penindasan dan intimidasi, yang paling menonjol adalah: Pertama, dilihat dari sebabnya karena sang tokoh/elite politik/praktisi/pengamat/publik figur saling menganggap lemah. Kedua, karena sebab saling menganggap lawannya lemah dan dirinya hebat, maka nampak jelas bullying yang saling apungkan dari  bahasa verbal, karena sebab di antara mereka saling memiliki masalah pribadi, pernah menjadi korban bullying lawan bicara di diskusi/debat sebelumnya, atau akibat perseteruan di media massa, merasa iri kepada lawan bicara, kurangnya pemahaman sehingga selalu bertentangan, mencari perhatian publik, tidak dapat mengendalikan emosi, memanfaatkan bullying karena menguntungkan buat diri dan kelompoknya dengan menjatuhkan lawan, serta tidak adanya empati dan simpati kepada lawan bicara. Ketiga, selain bullying berdasarkan sebab yang sangat nampak di setiap diskusi/debat di layar kaca, bullying mereka juga dapat digolongkan dalam jenis bullying verbal, yaitu memanggil nama, menghina, dan mengejek. Keempat, nampak jelas pula bahwa para tokoh, elite politik, praktisi, pengamat, dan para publik figur juga semakin terbudaya melakukan tindakan bullying sosial, seperti menyebarkan gosip atau rumor, melempar lelucon jahat, mengucilkan seseorang, memberikan ekspresi atau gestur tubuh yang mengancam atau menghina, hingga meniru dengan tujuan untuk menghina atau meremehkan. Pertanyaannya, apakah para tokoh, elite politik, dan publik figur menyadari bahwa mereka sejatinya telah melakukan tindakan bullying dan tidak berpikir dampaknya untuk masyarakat? Atau mereka memang dengan sadar dan sengaja melakukan tindakan bullying hanya demi keuntungan pribadi dan kelomponya, tanpa memedulikan siapa yang menjadi penonton di seluruh Indonesia dari acara debat/diskusi mereka? Siapa yang harus mencegah kejadian bullying dalam diskusi dan debat di layar televisi, sementera pembawa acara sering tidak kuasa mencegah mereka saling mem-bully. Siapa yang akan menyadari hal ini terus terjadi dan siapa yang bisa mencegah, menyetop? Kasihan rakyat, selalu disuguhi drama bullying, bukan adegan diskusi/debat yang memberi suri teladan. (*)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

Membangun Komunikasi Inklusif Bagi Difabel

Kamis, 11 Desember 2025 | 19:43 WIB

Satu Negeri Dua Realitas

Jumat, 28 November 2025 | 08:55 WIB

Pahlawan Hari Ini

Senin, 10 November 2025 | 19:20 WIB

Menembus Pasar Internasional dengan Produk Daur Ulang

Selasa, 16 September 2025 | 19:56 WIB
X