Senin, 22 Desember 2025

Tepatkah Pindah Ibukota?

- Senin, 2 September 2019 | 11:29 WIB
  Oleh: Perdy Irmawan Prayitno Fungsional Statistisi, BPS Kota Depok   Pengumuman resmi kepindahan ibukota negara oleh Presiden Joko Widodo (26/8/19) dari Jakarta ke Kalimantan Timur banyak menuai beragam reaksi. Banyak reaksi negatif namun tidak sedikit reaksi positif. Reaksi negatif yang didasari oleh bayang-bayang ketakutan akan menimbulkan masalah baru. Satu diantaranya adalah pencemaran lingkungan yang timbul karena status ibukota. Peran paru-paru dunia yang selama ini disandang Kalimantan ditakutkan terganggu karena adanya aktifitas sebagai ibukota. Sudah tentu adanya pengalihan lahan hijau menjadi gedung bertingkat. Sementara itu, pemindahan ibukota negara diharapkan dapat mengurangi bahkan menyelesai masalah, terutama di Jakarta. Jakarta sebagai ibukota negara memang sudah lama menyimpan segudang masalah. Dari masalah kemacetan hingga banjir yang belum terselesaikan sampai saat ini. Ditambah lagi beban Jakarta sebagai ibukota yang sudah terlalu berat. Alasan Pindah Pemerataan menjadi salah satu pertimbangan terkuat dalam rencana pemindahan ibukota. Pemerataan penduduk hingga ekonomi. Kepadatan penduduk Jakarta berdasarkan proyeksi BPS pada 2018 mencapai 15,8 ribu jiwa per kilometer persegi atau yang terpadat di Indonesia. Sangat Jauh dibandingkan Jakarta, kepadatan Kaltim hanya 29 jiwa per kilometer persegi atau termasuk lima provinsi dengan kepadatan terendah di Indonesia (BPS, 2018). Setiap ibukota memiliki daya tarik tersendiri. Dengan dipindahkannya ibukota diharapkan dapat menarik penduduk dari provinsi yang terlanjur padat. Jika ini terjadi akan berdampak baik, karena porsi beban setiap provinsi akan merata dari sisi penduduk. Sehingga tujuan pemerataan penduduk dapat terwujud. Secara ekonomi pulau Jawa penyumbang PDB tertinggi di Indonesia. Sebesar 58,8 persen PDB Indonesia didapat dari pulau berpenghuni 150 juta jiwa ini. Sementara pulau Kalimantan hanya menyumbang 8,3 persen dengan 4,4 persennya disumbang oleh Kaltim atau termasuk tujuh provinsi penyumbang tertinggi PDB Indonesia. Pertimbangan ini serasa sudah tepat, namun jika dilihat dari PDRB per kapita tahun 2018, Kaltim termasuk yang tertinggi di Indonesia dan hanya kalah dari Jakarta (BPS, 2018). Selain itu, pertimbangan penting lainnya ialah Kaltim minim risiko bencana, baik gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor maupun kebakaran hutan. Kalimantan secara umum hanya mengalami 21 kali gempa bumi selama 2016 dan tidak ada yang lebih dari 5,0 skala richter (SR). Sementara pada tahun yang sama, Jawa dilanda 714 gempa dengan tujuh diantaranya berskala besar (BPS, 2017). Kualitas SDM Keputusan memindahkan ibukota dirasa tidak pada waktu yang tepat. Di tengah segudang masalah yang sedang dihadapi bangsa Indonesia dan cita-cita untuk membangun sumber daya manusia (SDM) unggul. Cita-cita yang dijadikan tema utama pada perayaan HUT kemerdekaan Indonesia ke-74 ”SDM unggul Indonesia Maju”. Indeks pembangunan manusia (IPM) menjadi salah satu indikator pengukur kualitas SDM. IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Ketiga dimensi ini sangat berhubungan satu dengan lainnya. Pada 2018, secara keseluruhan angka IPM Kaltim (75,8) lebih baik daripada nasional (71,4). Angka ini hanya kalah dari Jakarta dan Yogyakarta. Angka ini terasa sangat superior dibanding provinsi lain di Kalimantan. Jika melihat lebih dalam, angka IPM Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) sedikit dibawah nasional (71,1). Sedangkan IPM Kabupaten Kutai Kartanegara sedikit lebih baik (73,1) (BPS, 2018). Kualitas pendidikan calon ibukota tidak kalah dibanding nasional. Angka rata-rata lama sekolah sampai kelas 2 SMP (PPU) dan kelas 3 SMP (Kutai Kartanegara). Sedangkan secara nasional hanya sampai kelas 2 SMP. Begitu juga dengan harapan lama sekolah di Kabupaten PPU 13 tahun dan 14 tahun untuk Kutai Kartanegara, sedangkan 13 tahun untuk nasional. Kondisi ini menandakan kualitas SDM cukup memadai untuk menyambut kedatangan calon ibukota baru. Jika bicara pemerataan kualitas SDM, pemilihan Kaltim dirasa kurang tepat. Dengan peringkat tiga yang disandangnya membuktikan Kaltim memiliki SDM yang berkualitas. Sementara itu, umur harapan hidup di Kaltim terbilang tinggi, yakni 74 tahun. Dapat dikatakan bahwa setiap bayi yang dilahirkan tahun 2018 memiliki harapan hidup 74 tahun. Di sisi lain, masalah biaya membangun calon ibukota baru menjadi sorotan. Angka 466 Triliun bukan dana yang kecil walaupun hanya 19 persen dibebankan ke negara. Bayangkan jika dana tersebut dialokasikan untuk sektor pendidikan (membangun sarana prasarana pendidikan) guna mewujudkan SDM unggul dan terwujudnya harapan besar menjadikan Indonesia sebagai negara maju. Di tengah kontroversi saat ini, tidak ada salahnya memberikan kepercayaan kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Semoga keputusan yang diambil memberikan dampak positif atas kelangsungan kehidupan berbangsa. Adanya perbaikan baik dari sisi sosial maupun ekonomi. Serta tidak melupakan cita-cita untuk mewujudkan SDM unggul menuju Indonesia Maju. (*)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

Membangun Komunikasi Inklusif Bagi Difabel

Kamis, 11 Desember 2025 | 19:43 WIB

Satu Negeri Dua Realitas

Jumat, 28 November 2025 | 08:55 WIB

Pahlawan Hari Ini

Senin, 10 November 2025 | 19:20 WIB

Menembus Pasar Internasional dengan Produk Daur Ulang

Selasa, 16 September 2025 | 19:56 WIB
X