Oleh: Nurina P. Sari*)
*Komunitas Ibu Peduli Generasi
*Tinggal di Rangkapan Jaya Depok
SAYA tertegun membaca “Radar Depok” pagi ini (9/9/2019). Di bagian paling bawah kiri halaman satu, dimuat berita dengan judul ”Terbelit Utang, Pilih Gantung Diri" yang terjadi di Gandul, Cinere.
Tak pelak, ingatan saya tertuju pada berita kurang dari dua minggu yang lalu. Beritanya sama, tentang seorang IRT di Meruyung yang memilih gantung diri di pohon . Ini baru di Depok. Bagaimana dengan kota lainnya? Beberapa hari yang lalu dihari yang sama berita mencekam itu muncul, dua mahasiswa ditemukan tewas di tali gantungan.
Dari sekian banyak masalah kesehatan yang cenderung meningkat, kesehatan jiwa merupakan masalah yang makin nyata peningkatannya. Data yang diperoleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, 10 persen dari populasi penduduk dunia membutuhkan pertolongan atau pengobatan di bidang kesehatan/psikiatri. Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia.
Hasil survei Prof. Ernaldi Bahar tahun 1995 dan Direktorat Kesehatan Jiwa tahun 1996 menyatakan bahwa di Indonesia, 1-3 dari setiap 10 orang mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang dimaksud bukanlah gangguan jiwa yang dipahami oleh sebagian masyarakat sebagai “orang gila”, tetapi dalam bentuk gangguan mental serta perilaku yang gejalanya mungkin tidak disadari oleh masyarakat; seperti depresi, kecemasan, kepanikan, penyakit yang berhubungan dengan kondisi psikologis (psikosomatis); juga yang berhubungan dengan masalah psikososial seperti tawuran, perceraian, kenakalan remaja, dan penyalahgunaan Napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif yang lain).
Berapa banyak anggota masyarakat Indonesia yang mengalami depresi belum ada data yang pasti. Namun, diperkirakan jumlahnya semakin banyak karena beberapa hal, antara lain:
Kondisi kehidupan yang semakin kompetitif, gaya hidup meterialistis dan semakin hedonistik ,serta makin jauhnya masyarakat dari nilai-nilai transendental (ruhiah) atau spriritualitas telah membuahkan kehidupan penuh tekanan.
Kaum perempuan pun kerapkali dirundung depresi, baik akibat kehidupan keluarga yang tidak harmonis, KDRT, anak yang semakin susah diatur, ataupun akibat tekanan kariernya. Maraknya depresi(tekanan kejiwaan) kini menjadi salah satu problem tidak hanya di Indonesia. WHO menyatakan rata-rata 40 detik terjadi bunuh diri akibat depresi di seluruh dunia.
Jika beberapa tahun silam, depresi lebih banyak diidap oleh kalangan tua diatas 50 tahun yang sebagian besar disebabkan oleh post power syndrom. Namun sekarang banyak anak remaja dengan lingkar usia 15-20tahun yang mengidap depresi. Hal ini terjadi dikarenakan pola asuh orangtua yang depresi namun tak disadari dan tidak ditangani yang kemudian mengakibatkan si anak cenderung depresi juga. Inilah akibat jika depresi menular tanpa disadari. Sakit psikologis dan sakit fisik sama-sama butuh obat dan treatment. Bedanya yang fisik terlihat lukanya yang psikologis seringkali tidak terdeteksi. Salah satu penyebab maraknya depresi berujung bunuh diri adalah karena kultur sosial masyarakat atau pengaruh lingkungan dimana masyarakatnya menjadi individualis.Kebanyakan mementingkan diri sendiri Belum lagi carut marutnya iklim ekonomi juga menjadi salah satu pemicu depresi.
Sempitnya lapangan pekerjaan membuat banyak pengangguran. Belum lagi harga-harga kebutuhan pokok yang semakin meroket dan tak lagi terjangkau masyarakat bawah. Kebanyakan memilih jalan pintas. Berhutang kepada rentenir dan terlilit riba.Ujung-ujungnya bisa di tebak. Mereka memilih bunuh diri sebagai penyelesaian atas masalah yang mendera.
Belum lagi sistem kehidupan masyarakat yang sekuler dan jauh dari nilai-nilai agama. Agama hanya dijadikan sebagai aktivitas ritual semata. Namun tidak berpengaruh dalam kehidupan mereka. Akhirnya ada ruang yang kosong dan menyebabkan kekeringan jiwa. Inilah hal yang paling mendasar sebenarnya. Hanya saja, jika ingin dirinci kenapa sampai ada orang yang mau bunuh diri, apa latar belakangnya, faktor apa saja yang berpengaruh, bagaimana cara keluar dari lingkaran setan dan depresi, serta bagaimana pendekatan yang tepat.
Jika ingin diuraikan tentu saja satu halaman tulisan di koran ini tidak akan cukup untuk menjawabnya. Tapi di atas semuanya, mereka itu butuh satu hal: diterima dan didengarkan Sensitiflah. Ada banyak orang disekitar kita yang perlu kita rangkul.Judge less, emphaty more. Kita tidak tahu apa yang dihadapi orang lain sampai ia berada di posisinya saat ini. Semua latar belakang itu tertimbun dalam kenangan yang tak kan bisa dipahami publik. Tahu tahu kita hanya mendapatkan kabar akhir hidupnya saja.
Era revolusi industri 4.0 disertai dengan kemajuan teknologi ternyata diiringi dengan krisis sosial, keruntuhan institusi keluarga, hingga tingginya angka bunuh diri ini. Lalu apalah artinya kemajuan ilmu, teknologi dan infrastruktur jika nilai manusianya kini makin tak berarti ? Apa artinya jika rasa kekeluargaan hilang? Apa artinya jika rasa kemanusiaan sirna? (*)
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Terkini
Kamis, 11 Desember 2025 | 19:43 WIB
Minggu, 30 November 2025 | 18:13 WIB
Jumat, 28 November 2025 | 11:52 WIB
Jumat, 28 November 2025 | 08:55 WIB
Senin, 10 November 2025 | 19:20 WIB
Senin, 10 November 2025 | 14:10 WIB
Jumat, 31 Oktober 2025 | 20:04 WIB
Rabu, 29 Oktober 2025 | 18:05 WIB
Selasa, 28 Oktober 2025 | 17:53 WIB
Senin, 27 Oktober 2025 | 13:06 WIB
Jumat, 24 Oktober 2025 | 13:50 WIB
Kamis, 23 Oktober 2025 | 11:48 WIB
Selasa, 21 Oktober 2025 | 17:05 WIB
Kamis, 16 Oktober 2025 | 17:36 WIB
Rabu, 15 Oktober 2025 | 22:52 WIB
Rabu, 15 Oktober 2025 | 22:29 WIB
Senin, 6 Oktober 2025 | 19:20 WIB
Jumat, 26 September 2025 | 16:36 WIB
Selasa, 16 September 2025 | 19:56 WIB
Senin, 15 September 2025 | 21:59 WIB