(Spirit Isra Mi’raj dalam dimensi tauhid, sosial politik, dan kearifan universal)
“Maha suci Alloh yang telah memperjalankan hambanya (Muhammad) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar Kami tunjukkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami. Sesungguhnya dialah (Alloh) maha mendegar lagi maha mengetahui” (Q.S. Al Isra’).
RADARDEPOK.COM, Hari ini bertepatan dengan tanggal 27 Rajab 1443 H, pada 1.401 tahun yang lalu terjadi peristiwa sejarah yang kemudian terabadikan dalam surat Al Isra’ diatas, seorang anak manusia sedang dalam kedukaan karena ditinggalkan orang-orang tercintanya, dia tidak bisa tertidur karena kesedihannya sampai kemudian datanglah dua malaikat membawanya dalam suatu perjalanan spiritual transenden yang agung sebagai dasar dalam ketauhidan, serta hubungan sosial dan politik. Karen Armstrong dalam bukunya, Sejarah Muhammad, Biografi Sang Nabi memaparkan bahwasanya peristriwa Isra Mi’raj terjadi ketika Nabi Muhammad berada dalam suatu kondisi yang terdesak melampaui batas akhir ketahanan fisik maupun mentalnya sebagai manusia biasa.
Dimensi sosial politik
Kisah perjalanan Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha (Palestina) lalu naik (mi’raj) ke langit Sidratil Muntaha, kemudian melahirkan gejolak pro dan kontra, banyak yang mengejek bahkan menyebut Muhammad sebagai orang gila. Mengigat secara rasional seorang manusia tidak akan mungkin melakukan perjalanan ke Yerussalem-Palestina dalam waktu satu malam pulang pergi. Bahkan naik ke langit untuk bertemu dengan Tuhannya, sesuatu yang dianggap tidak masuk diakal kaum Qurais saat itu. Perbedaan pandangan mengenai Isra Mi’raj tersebut pada hakikatnya bermuara dari interpretasi masing-masing individu terhadap ayat maupun hadis yang berbicara mengenai Isra Mi’raj. Hanya saja perdebatan seputar Isra Mi’raj apakah dilakukan Nabi secara jasmani atau rohani, pada akhirnya hanya mengaburkan makna di balik peristiwa Isra Mi’raj itu sendiri.
Dalam beberapa literatur klasik disebutkan bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj Muhammad SAW adalah merupakan suatu hadiah atau bisa disebut sebagai pelantikan atas diangkatnya Muhammad sebagai Rasulullah (Utusan Allah) dan sekaligus merupakan ujian bagi Muhammad SAW dan para pengikutnya. Untuk menguji mana yang beriman dan mana yang tidak beriman, mana yang percaya terhadap Muhammad dan misi kenabianya dan mana yang tidak mempercayainya.
Salah satu hal yang menarik dalam peristiwa tersebut adalah kisah pertemuan dua tokoh yang memiliki perspektif berbeda, yakni Nabi Musa yang saat itu masih cenderung menggunakan epistemologi keilmuan logika (knowledge by intellect) dan Nabi Khidhir yang cenderung menggunakan epistemologi keilmuan spiritual (knowledge by present). Hal tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa akumulasi ilmu pengetahuan tidak pernah final. Sehebat apapun sebuah produk rasional tidak pernah terbebas dari kepentingan dan suasana subjektif. Itulah sebabnya kosmologi Islam tidak pernah berhenti di level manusia, tetapi semuanya terpulang kepada Yang Maha Tahu. Selain itu, peristiwa Isra Mi’raj tak lain merupakan simbol perjalanan manusia menuju “Yang Tak Terbatas”. Sebuah kesadaran yang pada akhirnya akan membimbing manusia menuju suatu keyakinan bahwa kehidupan pada hakikatnya merupakan perjalaman spiritual yang dibimbing oleh “Yang Transenden” sehingga manusia tidak akan pernah menyerah dalam memperjuangkan kebenaran.
Kearifan Universal
Spirit perjalanan Nabi Muhammad yang mampu menembus ruang dan waktu, harus menjadi spririt bagi kita bersama ditengah komlpeksitas persoalan Bangsa Indonesia saat ini dimana kebenaran seakan hanya milik penguasa dan orang disekelilingnya. Suara-suara kebenaran seakan menjadi hantu menakutkan sehingga harus dibungkam. Aparat negara menebar ketakutan, sehingga suara-suara kritis mahasiswa sepi tak terdengar padahal bangsa ini sudah semakin jauh melenceng dari rel konstitusi kita. Terakhir usulan elit-elit partai politik kita yang menghendaki penundaan pemilu, suatu ide konyol yang juga menabrak konstutusi kita, sementara suara parlemen semakin tidak terdengar lagi. Seruan para cendikiawan yang selama ini sudah banyak dilontarkan kepada pemerintah juga cenderung tidak didengar.
Dalam konteks bangsa kita saat ini sekiranya peristiwa tersebut dapat membimbing perilaku kita menuju sebuah kearifan universal, sehingga tak ada lagi realitas “gila kekuasaan” yang berujung pada kejahatan kemanusiaan, seperti mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, sikap enggan menerima kritik, arogan, oportunis dan sebagainya. Kita tentu sangat prihatin ketika kondisi bangsa saat ini masih dibayang-bayangi pandemik yang hingga sekarang kita belum tahu ujungnya, tetapi beberapa elit kekuasaan kita jurtru mempertontonkan tingkah yang kurang bijaksana, dari wacana perpanjangan masa jabatan presiden hingga penundaan pemilu, suatu dagelan politik yang semakin memperjelas persekongkolan dalam membentuk oligarki.
Sudah lebih dari dua tahun bangsa ini terpuruk mengalami masa-maa sulit akibat pandemik yang belum berakhir, segala daya upaya sudah banyak dilakukan tetapi semua berpulang kepada Allah SWT, inilah barangkali ujian yang sedang Allah berikan untuk bangsa ini agar menjadi bangsa yang lebih baik lagi, bangsa yang adem, bangsa yang saling hormat menghormati, saling bergotong royong dan mengedepankan persatuan.
Waallahu a’lam.
*)Penulis: Dr. H. Heri Solehudin Atmawidjaja – Dosen Pascasarjana Uhamka Jakarta, Anggota Forum Doktor Sospol UI, Wakil Ketua PDM Kota Depok.