RADARDEPOK.COM, Hari ini tanggal 21 April kita Bangsa Indonesia dan secara khusus adalah kaum perempuan Indonesia mengenang kembali Sang Srikandi Nusantara, pejuang pembebasan kaum perempuan dari kekuasaan laki-laki dan kekuasaan politik, sebuah dominasi yang telah membudaya dalam kultur masyarakat saat itu (terutama Jawa).
Perjuangan Kartini untuk meraih hak-hak perempuan menjadi spirit bagi banyak perempuan Indonesia karena dia tidak hanya berjuang melawan kolonial Belanda, namun dia juga berjuang melawan tradisi lingkungan sosialnya yang dipandang sangat merugikan kaum perempuan. Kartini adalah simbol perlawanan terhadap kondisi sosial politik yang ada.
Ruh Pelopor Perubahan
Dalam konteks bangsa kita saat ini semangat perlawanan dan perjuangan yang diwariskan oleh RA Kartini bisa menjadi inspirasi dan sekaligus ruh perjuangan bagi generasi muda kita, sehingga muncul kartini-kartini baru yang bisa menjadi pelopor perubahan. Kartini yang meskipun hidup dalam lingkungan kekuasaan tapi tetap kritis menyuarakan kebenaran, Kartini yang selalu berpihak kepada suara-suara rakyat jelata, Kartini yang prihatin melihat rakyat semakin hari semakin sulit, dalam mendapatkan pekerjaan, sulit mendapatkan penghasilan yang layak bahkan untuk sekedar mendapatkan minyak goreng. Kartini yang tidak mau menjadi buzzer istana dan hanya menghamba kepada kekuasaan, memuja dan bertepuk tangan atas prestasi semu yang ditorehkan rezim berkuasa.
Kampanye keberhasilan kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam bidang infrstruktur sebagaimana yang sering dipamerkan sebagai suatu prestasi hebat seperti pembangunan jalan tol di Trans-Jawa, Trans-Sumatera, Trans-Kalimantan, Trans-Sulawesi hanyalah prestasi semu yang hanya menjadi justifikasi atas semakin menggunungnya beban hutang kita yang di akhir 2021 saja sudah menembus Rp 6.713,24 triliun atau tiga kali lipat APBN atau setara dengan tiga tahun lebih APBN kita, bahkan mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla menyebutkan bahwa Presiden yang akan datang harus mampu membayar bunga hutang sebesar Rp400 triliun, dan hanya bunganya saja. Maka wajar jika banyak pakar mempertanyakan prestasi infrastruktur tersebut.
Achmad Nur Hidayat seorang Pakar Kebijakan Publik mempertanyakan hal itu, buat apa 1.900 km tol kalau kemudian masyarakat masih menderita, dalam arti nilai kemanfaatan tidak dirasakan masyarakat, apakah kemudian rantai distribusi bahan sembako sebagai contoh menjadi lebih baik sehingga harga bisa murah? Ternyata tidak, artinya adanya jalan tol yang dibangun di rezim ini tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat.
Dulu Belanda menjajah kita tetapi kita semua tahu Daendels Gubernur Jenderal kolonial Belanda yang pertama membangun jalan lintas Pulau Jawa, Daendels membangun Jalan Raya Pos (Groote Postweg) dari Anyer di Ujung Barat Jawa Barat ke Panarukan di Ujung Timur Jawa Timur (kira-kira 1000 km) dan manfaatnya hingga kini rakyat kita tanpa terkecuali dapat menikmati hasilnya secara gratis. Sementara infrastruktur yang dipamerkan oleh Presiden hanya dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat yang memiliki kendaraan roda 4 saja dan itupun harus membayar alias tidak gratis. Bahkan jika kita lihat jalan tol yang telah habis masa konsesinya seperti Jagorawi yang seharusnya gratis juga kita tetap harus membayar, lalu disebutkan dan dipamerkan bahwa ini suatu prestasi? Rasanya kita harus ikut berpikir keras untuk menemukan jawabannya.
Ambisi Irasional dan Gema Demokrasi
Pada saat yang sama ambisi irasional Presiden yang tetap ngotot mau memindahkan IKN ke Kalimantan, juga berpotensi menimbulkan berbagai persoalan baru selain semakin membengkaknya hutang kita terhadap asing (terutama China). Pertanyaan sederhana yang harus dijawab secara rasional, siapa yang diuntungkan dari ambisi memindahkan IKN ke Kalimantan ini? Rakyat kita? Rakyat yang mana? Negara? Negara yang mana? Bukankah kita sedang menghadapi gunungan hutang yang entah sampai kapan akan terus terwariskan kepada anak cucu kita? Atau sengaja kita sedang secara tidak sadar mempertaruhkan kedaulatan kita ketangan asing (China) sebagai pemberi pinjaman?
Rangkaian peristiwa demi peristiwa yang terjadi mengenai praktik-praktik otoriter kekuasaan dan akrobat politik hukum belakangan ini menimbulkan ingatan kembali mengenai serangkaian peristiwa sejarah pada masa pemerintahan Orde Baru menjelang kejatuhannya. Kini masyarakat sudah menyadari, mahasiswa sudah bangun dari mimpi buruknya, dan seluruh elemen masyarakat kembali tersadar bahwa ada yang salah dari tata kelola negara ini, ada yang harus diluruskan atau kalau tidak dihentikan. Demokrasi kembali menggema di langit Jakarta, mahsiswa kembali turun ke jalan menyuarakan apa yang mestinya disuarakan. Mereka datang dari berbagai perguruan tinggi, mengambil momentum Hari Kartini sebagai simbul perlawanan terhadap ketidakadilan dan sengkaruk persoalan bangsa ini.
Sebagai catatan akhir bahwa setiap pemimpin pasti menginginkan husnul khotimah, soft lending, ingin meninggalkan legasy yang tercatat dalam sejarah sebagai sebuah prestasi besar, tidak terkecuali Presiden Joko Widodo pasti menginginkan itu. Karena itulah tugas para pembantu dan orang-orang terdekat Presiden Joko Widodo adalah memastikan bahwa Presiden melakukan itu semua tidak malah membuat gaduh, bermanuver tiga periode, memiliki big data, dan penundaan pemilu. Tugas para pembantu presiden saat ini adalah mengawal agar Bapak Presiden dapat melaksanakan amanah sesuai dengan janji-janji kampanyenya, tetap on the trak sampai dipenghujung akhir periode kepemimpinanya 2024, biarlah masyarakat yang menilai, biarlah semua menjadi catatan sejarah. Wallahu a'lam.
*)Penulis: Dr. Heri Solehudin Atmawidjaja (Dosen Pascasarjana Uhamka Jakarta, Anggota Forum Doktor Sospol UI, Wakil Ketua PDM Kota Depok).