Oleh : Hanifiatul Masruroh 044121166, Rizka Shoumi H. S. 044121165, Yasmin Sarah Wardani 044121183, Fariz Oktavian Syahrial 044121147, Gilang Maulana 044121161, M. Naufal A. 044121461, Fernanda Dwi H. 044121176, Risma A. 044121168, dan Ratu Carina 044121185
Universitas Pakuan Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat/ 03-06-2022
MENURUT Riggio (2009), konformitas adalah proses dalam diri anggota kelompok untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma yang ada di dalam kelompok. Konformitas merupakan gambaran kepatuhan anggota yang akan membantu mempertahankan keseragaman kelompok. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi konformitas, yaitu pengaruh dari orang-orang yang disukai, kekompakkan kelompok dan ukuran kelompok. Kebanyakan orang melakukan konformitas terhadap kelompok sosialnya dikarenakan takut akan penolakan. Fenomena konformitas atau "ikut-ikutan" muncul disaat lingkungan seorang individu melakukan kegiatan yang serupa. Contoh kasusnya adalah respon masyarakat terhadap kebijakan pembukaan masker di ruang terbuka.
Setelah kurang lebih dua tahun melakukan lockdown, akhirnya pemerintah Indonesia resmi mengeluarkan kebijakan mengenai pelepasan masker di ruangan terbuka yang sudah diterapkan sejak 18 Mei 2022 kemarin. Adapun respon terkait kebijakan tersebut sangatlah beragam. Pelepasan masker di ruangan terbuka ini menimbulkan sedikit kekhawatiran di dalam benak masyarakat karena takut akan terjadi gelombang Covid-19 yang baru seperti sebelum-sebelumnya. Namun, tidak sedikit yang menganggap bahwa kebijakan ini merupakan sebuah berita baik yang memunculkan harapan baru untuk terlepas dari bayang-bayang virus yang sebelumnya dinyatakan pandemi ini.
"Menurut saya, penggunaan masker sudah menjadi kebiasaan kita selama dua tahun terakhir ini. Memiliki kebiasaan baru yang setiap keluar rumah pasti terbiasa memakai masker, kalau keluar tanpa masker rasanya ada yang ganjal. Tetapi dikarenakan sudah dibolehkannya melepas masker kita harus beradaptasi kembali, karena terkadang kita sebagai kaum wanita lebih percaya diri menutup wajahnya yang tidak make up-an dengan menggunakan masker.” Ucap salah satu narasumber bernama Devira yang merupakan seorang Mahasiswi Universitas Pakuan Bogor.
Lain halnya dengan Devira, tanggapan seorang tukang parkir bernama Hasan justru berbeda. Ia mengatakan, "Saya menggunakan masker sesuai keadaan aja dan gimana lingkungan juga. Tapi balik lagi, gimana kenyamanan masing-masing." Jelasnya dengan mantap.
Selain dua pendapat di atas, masih banyak narasumber lain yang memberikan jawaban serupa. Menurut salah satu teori psikologi, yaitu Pendekatan Perilaku menyatakan bahwa manusia terpengaruh oleh lingkungannya sehingga menimbulkan perilaku tertentu. Terlepas dari perbedaan pendapat di masyarakat, baik atau tidaknya tergantung pada cara kita menyikapi kebijakan tersebut. Pelepasan masker boleh dilakukan hanya pada saat di ruangan terbuka dan tidak dalam kondisi berkerumun dengan orang lain. Kebijakan ini adalah langkah baru untuk memutus belenggu dari virus Covid-19 dan diharapkan berdampak baik kepada seluruh masyarakat, baik Indonesia maupun dunia. Hal baru yang kami temukan dari kebijakan tersebut selama masa pandemi Covid-19 adalah lahirnya kebiasaan memakai masker di tengah masyarakat. Ada yang memutuskan untuk melakukan konformitas tersebut, ada juga yang tidak. Semua tergantung pada diri masing-masing. (*)
https://www.youtube.com/watch?v=qaQz6goXS3s