Oleh: Dr. H. Heri Solehudin Atmawidjaja*)
Tragedi Kanjuruhan Malang
Belum selesai tuntutan rakyat kecil terhadap kenaikan harga BBM, sengkaruk penegakan hukum dan sejumlah persoalan sosial yang lainnya, kita dikejutkan dengan Tragedi Kanjuruhan-Malang yang menewaskan ratusan anak-anak bangsa pecinta sepak bola kita. Duniapun kembali menyoroti problematika sepak bola kita, karena sepak bola yang seharusnya menjadi hiburan pemersatu seluruh anak bangsa tiba-tiba berubah menjadi tragedi kemanusiaan, sungguh merupakan ironi sejarah yang akan menjadi catatan hitam dalam olah raga kita.
Sepak bola sejatinya sudah menjadi bagian tidak terpisahkan bagi rakyat Indonesia mengingat orang tua muda, besar kecil, kaya miskin semua tanpa terkecuali dan tanpa sekat sama-sama menyukai speak bola. Akan tetapi sayangnya euphoria masyarakat yang begitu besar tidak berbanding lurus dengan perbaikan manajemen persepakbolaan kita. Manajemen bola di tanah air terkesan asal-asalan dan masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara pecinta bola yang lainnya.
Kasus yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang adalah bukti ketidak profesionalannya manajemen sepak bola, baik dari level PSSI sebagai pembuat regulasi hingga pada level panitia pelaksana yang abai terhadap kemungkinan persoalan yang terjadi. Pada saat yang sama aparat keamanan yang seharusnya berfungsi sebagai penengah justru bertindak barbar seakan sedang berhadapan dengan musuh-musuh negara. Inilah potret buram olah raga kita. Stadion Kanjuruhan telah disulap menjadi kuburan masal, justru oleh aparat negara yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat. Edukasi memang harus dilakukan akan tetapi harus dengan cara yang baik dan bermartabat, tidak dengan cara bar-bar sebagaimana yang telah dilakukan, sehingga kita menjadi bangsa yang bermartabat.
Semangat Profetik
Bulan ini kita juga bertepatan dengan bulan Maulid yang oleh sebagian besar ummat Islam diperingati sebagai hari bersejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Terlepas dari persoalan kontroversinya maulid setidaknya kita dapat mengambil hikmah dari peringatan Maulid Nabi SAW sebagai cermin kita sebagai ummatnya, sudah layakkah kita disebut sebagai ummatnya, sudah sejauhmana kita mengikuti jejak dan kebajikannya, sudah berapa banyak orang-orang sekeliling kita yang kita selamatkan dari kebodohan dan lain sebagainya.
Dalam konteks sosial kita saat ini betapa pentingnya membangun sikap profetik kenabian (suatu sifat, perilaku dan ucapan yang ada pada diri Nabi) dalam mengawal perjalanan bangsa ke depan. Kita semua menyadari bahwasanya Nabi memiliki sifat yang mulia dalam berperilaku maupun berucap. Selain itu Nabi merupakan tokoh pembebas sosial yang mencakup persoalan kekerasan, kebodohan, kemiskinan dan lain-lain. Semangat inilah yang seharusnya ada saat ini dan harus ditumbuhkan terutama dikalangan para pemimpin kita.
Melalui momentum Maulid Nabi ini kita jadikan momen meneladani Rasulullah SAW. Menjadikan Nabi sebagai role model dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam persoalan sosial, politik, kulltural, ekonomi, dan lainnya yang telah dibangun oleh Rosulullah SAW yang kemudian kita kenal sebagai “Piagam Madinah”. Nilai itu mempunyai implikasi yang sangat mendasar dalam rangka membingkai kelangsungan hidup bangsa kita yang majemuk. Piagam Madinah adalah contoh konkrit bagaimana Islam membangun sebuah tatanan masyarakat yang adil, makmur dan bermartabat. Wassalam.
*)Penulis: Dr. H. Heri Solehudin Atmawidjaja (Pemerhati Sosial Politik Pascasarjana Uhamka Jakarta, Wakil Ketua Forum Doktor Sospol UI, Wakil Ketua PDM Kota Depok).