RADARDEPOK.com - Dunia media sedang berubah. Dulu, berita hanya datang dari koran pagi, siaran radio, atau televisi malam. Tapi sekarang, berita bisa muncul dari mana saja—dari status media sosial, video singkat, bahkan komentar netizen.
Perubahan ini membuat banyak media konvensional terkejut, bingung, bahkan tertinggal.
Di tengah perubahan ini, muncul sebuah konsep penting: konvergensi media. Konvergensi bukan hanya soal pindah ke platform digital. Ia adalah proses menyatukan kekuatan pelbagai media cetak, radio, televisi, digital, media sosial menjadi satu ekosistem yang utuh, saling terhubung, dan saling menguatkan.
Sayangnya, banyak media di Indonesia belum sepenuhnya memahami hal ini. Mereka menganggap cukup dengan punya akun Instagram atau website, lalu mengunggah berita versi cetak ke sana.
Padahal, konvergensi butuh lebih dari itu. Konvergensi butuh integrasi: konten yang berbeda namun satu cerita, strategi disesuaikan dengan perilaku pembaca, dan tim redaksi yang berpikir lintas format.
Dua tahun terakhir, menurut catatan Dewan Pers gelombang PHK mulai mendera industri media nasional. Perusahaan raksasa media seperti Kompas TV, CNN Indonesia dan MNC, mulai memangkas jumlah karyawannya.
Bukan karena mereka tidak punya nama besar, tapi karena mereka kalah cepat dalam beradaptasi. Dunia sudah berubah.
Ini pertanda industri media Indonesia tengah memasuki fase kritis. Bukan hanya terguncang, tetapi mulai runtuh dari dalam. Tanda-tandanya tak lagi samar.
Satu per satu perusahaan media, bahkan yang bertitel nasional dan punya sejarah panjang, kini melakukan langkah pahit: pemutusan hubungan kerja massal. Di balik setiap pengumuman layoff, ada kegagalan besar harus diakui: kegagalan beradaptasi.
Teori konvergensi media, yang banyak dikembangkan oleh Henry Jenkins dan para pemikir komunikasi kontemporer, bukan hanya menekankan integrasi antara platform cetak, digital, dan audio visual.
Lebih dalam dari itu, konvergensi menuntut kesatuan narasi lintas kanal, keterlibatan audiens, serta pembongkaran sekat-sekat lama dalam organisasi redaksi.
Di era konvergensi, berita tidak hanya berhenti di teks. Ia menjelma menjadi video, kutipan viral, audio pendek, meme, bahkan perbincangan komunitas.
Namun di Indonesia, media terlalu sering memaknai konvergensi secara sempit. Mereka mendirikan divisi digital, membuat akun media sosial, dan mengunggah ulang berita cetak ke kanal online.
Tapi tidak ada perubahan cara kerja. Tidak ada penyatuan tim. Tidak ada integrasi visi. Maka hasilnya pun setengah matang. Alih-alih berkembang, mereka berjalan di tempat dengan gaya baru setengah-setengah.
Sementara itu, publik telah bergeser jauh. Konsumsi informasi hari ini ditentukan oleh kecepatan, relevansi, dan kemasan. Audiens tidak lagi membaca berita karena kewajiban moral, tetapi karena kebutuhan emosional dan kontekstual.
Artikel Terkait
Misi Baru Ryan Reynolds Melindungi Istri Samuel L. Jackson dalam Film Hitman’s Wife’s Bodyguard, Tayang di Bioskop Trans TV!
Bukan Sekadar Reses! Siswanto Langsung Tindaklanjuti Keluhan Warga soal Drainase Buruk, Jalan Rusak hingga Rumah Ambruk
Martabak Telur Lumpia, Bahan Sederhana Bikinnya Mudah
Enak, Manis dan Krispi, Inilah Pisang Goreng Wijen Mini, Pas Banget Disajikan Panas-Panas
Mudahnya membuat Pisang Karamel Kulit Lumpia, Camilan dengan Rasa Manis dan Tekstur yang Garing
Depok Punya Nih! Kafe Estetik dan Instagramable yang Nyaman, Teduh dan Bikin Betah
Tenda Dome by Tilu Bumi Nature Camp Solusi Tepat Buat Sobat Depok yang Pengen Camping Engga Mau Ribet