RADARDEPOK.COM - Kenaikan tarif PPN menjadi 12% belakangan ini menjadi perbincangan hangat dalam masyarakat. Meskipun menuai pro dan kontra serta berbagai tanda tanya, pemerintah tetap memutuskan untuk melanjutkan kebijakan berikut yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Lalu, apa sebenarnya alasan di balik langkah ini?
Tahun 2025-2027 mendatang, pemerintah Indonesia akan menghadapi tantangan besar dengan lonjakan utang jatuh tempo yang berada pada kisaran Rp 800 triliun, jauh lebih tinggi dibandingkan utang tahun 2024 yang tercatat pada kisaran Rp 433 triliun (DJPPR). Lonjakan ini terjadi karena defisit APBN yang melambung selama pandemi COVID-19, memaksa pemerintah untuk meminjam lebih banyak guna mengatasi krisis. Meski Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menyatakan bahwa risiko utang jatuh tempo relatif kecil berkat kondisi ekonomi dan politik Indonesia yang terus membaik, ekonom senior yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati berpendapat bahwa kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% mungkin merupakan sebuah upaya yang dilakukan pemerintah dalam memperbesar angka pendapatannya agar dapat memenuhi kewajiban utang tersebut. Oleh karena itu, kebijakan ini menjadi sebuah urgensi yang dicanangkan oleh pemerintah.
Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang memiliki peran krusial dalam membiayai berbagai program pemerintah. Sebagai sumber utama pendanaan negara, pajak memiliki fungsi klasik, yaitu budgetair—yakni untuk mengisi kas negara secara optimal dengan memperhatikan asas perpajakan. Dari perspektif pemerintah, kestabilan ekonomi suatu negara tidak hanya diukur dari kemampuannya mengelola dan membayar utang negara, tetapi juga dari kemampuannya menjaga kesejahteraan internal. Salah satunya adalah dengan terlaksananya pemberian insentif dan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Namun, untuk terus dapat mewujudkan semua ini, pemerintah memerlukan pendapatan yang besar dan berkelanjutan. Pendapatan tersebut dapat diperoleh melalui pajak yang bukan hanya menjadi kewajiban bagi masyarakat, melainkan juga menjadi kewajiban bagi seluruh warga Indonesia untuk menciptakan negara yang lebih makmur dan sejahtera. Pada dasarnya, pajak adalah kontribusi yang diberikan masyarakat kepada negara, yang kemudian dikelola oleh pemerintah untuk kepentingan bersama. Sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan pendapatan negara, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12% dengan mengecualikan beberapa barang dan jasa tertentu, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021. Langkah ini bertujuan agar kebijakan perpajakan tetap adil dan tidak memberatkan golongan tertentu dalam masyarakat.
Namun sebenarnya, apa saja asas perpajakan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah? Ekonom dan filsuf Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) menyampaikan 4 (empat) prinsip yang menjadi dasar bagi sistem perpajakan modern, salah satunya ialah prinsip kesetaraan. Peningkatan tarif PPN menjadi 12% adalah contoh penerapan prinsip kesetaraan tersebut. Pajak ini diterapkan secara merata kepada semua kalangan masyarakat yang membeli barang atau jasa tertentu. Yang menarik, meskipun konsumen membayar pajak melalui PPN, mereka tidak langsung menyadarinya karena pajak ini sudah termasuk dalam harga barang atau jasa. Meskipun tidak terlihat langsung, konsumen akan merasakan dampaknya karena harga barang dan jasa yang mereka beli akan meningkat akibat penyesuaian tarif PPN ini.
Baca Juga: Malam Anugerah Kemanusiaan KNRP di Depok : Jangan Lupakan Palestina!
Meskipun prinsip kesetaraan sudah diterapkan oleh pemerintah, penting untuk bertanya: apakah konsep keadilan juga diperhatikan? Hal ini menjadi relevan mengingat kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi akibat perubahan tarif pajak, seperti PPN, bisa mempengaruhi daya beli masyarakat. Kenaikan harga yang dianggap terlalu tinggi dikhawatirkan dapat menyebabkan penurunan minat konsumen untuk membeli, terutama bagi masyarakat kelas menengah-bawah yang akan paling terdampak. Masalah ini berpotensi mengurangi supply barang dan jasa yang dapat disediakan oleh produsen, yang kemudian dapat memicu pemutusan hubungan kerja (PHK). Fenomena ini menggambarkan apa yang dikenal sebagai multiplier effect, di mana satu masalah dapat memicu serangkaian masalah lainnya, layaknya efek domino.
Pemerintah diharapkan tidak hanya membuat kebijakan untuk meningkatkan pendapatan negara yang kemudian digunakan untuk berbagai kegiatan dan program seperti membayar utang dan membangun infrastruktur, tetapi juga harus mempertimbangkan secara matang dampak yang mungkin timbul akibat kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Penting bagi pemerintah untuk tidak hanya berfokus pada aspek pendapatan, tetapi juga menjaga kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, langkah-langkah pencegahan dapat diambil untuk mengantisipasi masalah yang mungkin muncul, sehingga dapat tercipta sebuah negara Indonesia yang makmur, sejahtera, dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. ***
Oleh : Dreama Jesica
Mahasiswa Universitas Indonesia