Ketua Forum Komunikasi Kelompok Sadar Wisata (Forkom Pokdarwis) Kabupaten Sumenep, Ahyak Ulumudin (49) membenarkan jika kadar oksigen yang baik menjadi salah satu alasan para lansia di Gili Iyang berusia panjang.
“Hasil penelitian Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) tahun 2005-2006, Lembaga Besar Kesehatan Lingkungan tahun 2011, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sumenep dan Dinkes Provinsi Jawa Timur tahun 2012 menunjukkan konsentrasi oksigen du Gili Iyang rata-rata mencapai 20,9 persen di siang hari dan 21 persen di malam hari,” ujar Ahyak saat ditemui tim ekspedisi di Pelabuhan Dungkek, Jumat (20/10).
Tingginya konsentrasi oksigen, lanjut Ahyak, diakibatkan posisi pulau yang memiliki 2 desa ini diapit 2 lautan, yakni Laut Jawa dan Laut Kalimantan.
Sehingga mendorong adanya sirkulasi udara yang sekaligus berimbas pada tingginya gelombang udara dan seringnya terjadi awan puting beliung.
Baiknya kualitas konsentrasi oksigen juga terjadi karena adanta filterisasi udara di perut bumi Pulau Gili Iyang. Di bawah pulau yang berlandaskan karang ini, terdapat 19 titik goa yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
“Sehingga jika siang udara masuk, dan malamnya dikeluarkan lagi dengan membawa manfaat. Makanya masyarakat sering tidur di luar supaya mendapatlan manfaat. Terbukti oksigen membuat banyak yang awet muda, bukan dari segi raut wajah tapi segar fisiknya.
Usia 80 tahun sama tenaganya seperti umur 50-an,” terang pria berkacamata dengan logat Madura medok itu.
Ahyak membeberkan, saat Hari Lanjut Usia Nasional (Harlan) tahun 2018, Gili Iyang mencatat ada 52 lansia yang berusia di atas 125 tahun dan terdapat 105 lansia berusia 80-100 tahun.
Selain faktor udara, Ahyan berpendapat makanan yang alami tanpa unsur instan juga jadi alasan warga Gili Iyang berumur panjang. Mereka sering mengonsumsi nasi jagung, daun kelor, dan ikan laut hasil tangkapannya sendiri.
Baca Juga: Mengulas Sejarah Stasiun Citayam, Stasiun Tertua di Depok, Usung Konsep Kolonial Indis : Bagian 1
Para lansia juga tak membatasi hidup mereka dengan berleha-leha saja. Namun tetap rajin beraktivitas seperti ngangon (merawat) ternak, berjalan kaki, dan mencari ikan di laut.
Sekretaris Desa Bancamara, Kahor bercerita, saat ini banyak warga desanya yang merantau di berbagai wilayah lain. Mereka membangun usaha toko sembako atau yang akrab dikenal dengan sebutan Warung Madura di Pulau Jawa.
“Mereka bikin usaha yang berbeda dari warung yang sudah ada yaitu dari sisi durasi operasionalnya yakni 24 jam. Sehingga banyak membantu orang yang ingin cari makan minum di malam hari. Kalau tidak begitu pasti susah (laku),” tutur pengusaha 3 toko sembako di Bali itu.
Hasil usaha mereka kemudian dibawa pulang lagi ke tanah kelahirannya. Rumah-rumah besar dengan desain ciamik dibangun mereka yang akan dikunjungi saban lebaran Idul Fitri.***