Ia mencontohkan seorang warga yang menjual lahan garapannya hingga Rp120 juta kepada pemilik bengkel besar.
Total, pemilik bengkel tersebut disebut telah mengeluarkan hingga Rp800 juta untuk membeli lahan garapan di sekitar wilayah tersebut.
Namun Dedi menegaskan bahwa lahan garapan tetaplah tanah negara, sehingga pemerintah tetap berwenang menertibkan. Pemilik usaha pun tidak keberatan, asalkan pemerintah menyediakan akses jalan pengganti.
“Kalau perlu jembatan kecil, akan kita bangunkan,” ujar Dedi.
Baca Juga: Disdik Kota Depok Sosialisasi Kenaikan Pangkat dan Ujikom
Salah satu persoalan paling serius adalah berubahnya status tanah negara termasuk bantaran sungai menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM). Dedi menyebut temuan ini sering terjadi di Bekasi, Subang, hingga wilayah lain di Jawa Barat.
Menurutnya, hal ini merupakan kesalahan fatal dalam tata ruang, karena sungai dan kawasan penyangga air tidak semestinya bisa menjadi hak milik pribadi.
Dedi mempertanyakan proses hukum yang memungkinkan alih status tersebut. Ia menegaskan bahwa meskipun sudah bersertifikat, pemerintah tidak boleh berhenti menelusuri bagaimana tanah negara bisa berubah menjadi milik pribadi.
“Ini harus diselidiki. Bagaimana proses jual belinya? Kenapa bisa lolos menjadi SHM?” tegasnya.
Baca Juga: Siswa SMPN 24 Depok Tampilkan Hasil Karya dari Drama Si Pitung hingga Reog Ponorogo
Dedi mencontohkan kondisi Bendungan Jatiluhur yang kini sulit melakukan proses pengerukan sedimentasi. Pasalnya, kawasan daerah aliran sungai (DAS) Tarum Barat dan Timur telah berubah fungsi menjadi permukiman dan kawasan industri.
Akibatnya, bendungan tidak bisa dibersihkan secara optimal, meningkatkan risiko umur bendungan menjadi lebih pendek dari yang direncanakan.
“Karena perubahan peruntukan, tidak ada lagi ruang untuk mengalirkan sedimen. Ini contoh dampak fatal dari tata ruang yang salah,” jelas Dedi.***