Senin, 22 Desember 2025

Fenomena LGBTQ+, Azab? Malapetaka? Atau Bencana ?

- Rabu, 27 Desember 2023 | 10:57 WIB
Ilustrasi (Pexels)
Ilustrasi (Pexels)

Psikologi klinis sebagai bagian dari ilmu psikologi yang fokus pada asesmen, penatalaksanaan dan pemahaman dari gangguan dan masalah perilaku. Faktanya, psikologi klinis, fokus pada bagaimana cara jiwa-jiwa manusia berinteraksi dengan fisik, emosional, dan sosial. Menurut American Psychological Association (APA) psikologi klinis menggunakan prinsip psikologi untuk meningkatkan pemahaman, memprediksi, dan meringankan "aspek sosial, intelektual, emosional, biologis, psikologis, dan fungsi perilaku manusia. Dalam prakteknya psikologi klinis menggunakan konsep psikologi abnormal. Psikoli perkembangan, psikopatologi dan psikologi kepribadian serta prinsip-prinsip penilaian dan intervensi untuk dapat memahami masalah psikologis, gangguan penyesuaian diri dan tingkah laku abnormal.

Dalam manajemen bencana, dikenal adanya fase pra bencana, tanggap bencana dan fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Berdasarkan konsep ini, penulis mengajak para pembaca untuk membantu kelompok LGBTQ+ agar dapat mengurangi risiko gangguan kesehatan fisik, mental dan sosial sehingga dapat menjalani kehidupan dengan kualitas yang lebih baik.

Di fase pra bencana, kita kenal adanya kegiatan mitigasi. Dalam konteks artikel ini, tindakan mitigasi yang dapat kita lakukan antara lain melakukan deteksi dini adanya gejala atau tendensi perilaku LGBTQ+ pada anak-anak atau remaja. Deteksi dini ditujukan agar remaja dengan kecenderungan LGBTQ+ dapat segera memperoleh pendampingan atau pertolongan, sehingga mereka bisa memberikan koping yang sesuai dengan perilaku tersebut. Remaja dengan LGBTQ+ menghadapi tantangan perkembangan dan psikososial yang harus bisa diidentifikasi oleh klinisi kesehatan mental. Di fase selanjutnya, respon bencana; keluarga, teman, guru dan lingkungan agar dapat memahami situasi yang dihadapi oleh orang dengan perilaku LGBTQ+. Psikoterapi dapat membantu untuk identifikasi dukungan yang perlu diberikan oleh keluarga dan teman-teman, untuk kemudian memutuskan bagaimana pendampingan yang dibutuhkan.

Konselor dapat mempertimbangkan terapi keluarga dan dukungan dari pihak lain. Intervensi klinis dapat melibatkan keluarga dengan meningkatkan komunikasi antara orang tua dengan orang dewasa muda LGBTQ+ dan psikoedukasi untuk orang tua mengenai seksualitas dan penerimaan keluarga, advokasi sekolah untuk mengatasi intimidasi serta mengidentifikasi sumber daya lain yang mampu menjadi sumber daya dukungan sosial. Upaya untuk mengembalikan orientasi seksual dan/atau gender kelompok LGBTQ+ melalui konseling agama, aversion therapy dan metode lain yang mencegah kelompok LGBTQ untuk mengambil langkah-langkah medis dan sosial untuk menegaskan identitas mereka, dikenal sebagai “terapi konversi” (conversion therapy).

Baca Juga: Jaringan Santri dan Ulama di Meruyung Deklarasi Menangankan Fizkry Maulana

Studi internasional dengan sampel LGBTQ yang besar telah menemukan hubungan antara paparan terhadap upaya konversi dan peningkatan risiko ide bunuh diri dan upaya bunuh diri menyediakan bukti empiris yang dapat ditimbulkan oleh upaya konversi ekanan mental dan morbiditas psikososial. Dukungan sosial yang paling penting adalah anggota keluarga, teman, dan orang terdekat yang dapat mencakup orang-orang dari LGBTQ dan beragam komunitas keagamaan. Di fase respon ini, sebagian orang akan mengalami perubahan kondisi, seperti berkurangnya keinginan bunuh diri, gejala stress, konsumsi alkohol, rokok dan obat-obatan terlarang. Akan tetapi ada juga kelompok yang memerlukan penanganan lebih lanjut.

Apabila ditemukan adanya klien (penulis tidak mencantumkan sebagai pasien) yang memerlukan penanganan khusus, psikolog atau pakar lainnya dapat melalukan rujukan ke dokter atau psikolog. Di saat ini, kita sudah memasuki tahapan pasca bencana; rehabiltasi dan rekonstruksi. Perilaku negatif yang muncul pada remaja atau dewasa muda dengan LGBTQ+, antara lain di-awali dari tindakan kriminalisasi (aturan hukum maupun adat), marjinalisasi , patologis, dan delegitimisasi bentuk identitas noncisgender dan nonheteroseksual. Pekerjaan terapeutik yang berfokus pada konsolidasi identitas dan menangani stigma diri (penderitaan pasien terkait dengan identitas mereka sendiri) dapat membantu menumbuhkan kondisi psiko-seksual dalam pengasuhan yang sehat.

Transisi gender merupakan suatu proses, yang sangat kompleks dan dokter yang memiliki pengalaman dalam membantu pasien dalam transisi harus dapat menjadi konsultan. Mereka dapat memberikan panduan tentang bagaimana mendukung keluarga dalam membuat dan melaksanakan keputusan. mengenai waktu dan Langkah/tindakan menuju transisi sosial. Dapat membantu keluarga menegaskan dan mendukung anak yang menderita disforia gender, meskipun transisi sosial gender tidak dilakukan. Pendampingan keluarga dapat dilakukan sampai ke tahap berikutnya, seperti ; bagaimana kondisi di sekolah, dan komunitas, seperti pemakaian toilet, dan keputusan pemakaian terapi hormonal. Klinisi perlu mendiskusikan mengenai gender yang dipilih, menganalisis keuntungan dan risiko dari transisi sosial dan medis.

Baca Juga: Jaringan Santri dan Ulama di Meruyung Deklarasi Menangankan Fizkry Maulana

Penanganan remaja atau dewasa muda dengan LGBTQ+ memerlukan sebuah sistem pendukung yang kuat. Keluarga adalah sistem pendukung terbaik, pelaku rawat biasanya menjadi orang yang paling dipercaya. Pada akhirnya, praktisi psikologi klinis harus mampu menyediakan pelayanan yang professional seperti asesmen, konsultasi dan konseling.

Fenomena LGBTQ+ sudah mendunia, beberapa negara bahkan sudah melegitimasi. Artikel ini hanya sedikit membahas mengenai peran psikologis klinis dalam penanganan LGBTQ+. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pedoman atau standar penanganan remaja dengan LGBTQ+. Dengan meng-adopsi konsep siklus manajemen bencana, diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari fenomena LGBTQ + baik terhadap dirinya sendiri, maupun kepada orang-orang di sekitarnya. ***

Oleh : dr Pritha Maya Savitri, SpKP

Mahasiswa Prodi MMB UPNYK

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Membangun Komunikasi Inklusif Bagi Difabel

Kamis, 11 Desember 2025 | 19:43 WIB

Satu Negeri Dua Realitas

Jumat, 28 November 2025 | 08:55 WIB

Pahlawan Hari Ini

Senin, 10 November 2025 | 19:20 WIB

Menembus Pasar Internasional dengan Produk Daur Ulang

Selasa, 16 September 2025 | 19:56 WIB
X