Lebih jauh, pembangunan Depok juga menuntut keadilan spasial dan pemerataan antarwilayah. Terlalu lama Margonda dan sekitarnya menjadi pusat perhatian pembangunan, sementara wilayah pinggiran seperti Bojongsari, Cipayung, dan Sawangan masih tertinggal dalam akses infrastruktur dan pelayanan publik. Ketimpangan ini tidak hanya menciptakan kesenjangan fisik, tetapi juga psikologis—muncul perasaan “terpinggirkan” di kalangan warga yang tinggal jauh dari pusat kota. Kota peradaban tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. Pemerintah perlu mengubah pola pembangunan yang sentralistik menjadi desentralistik, menghidupkan potensi setiap wilayah sesuai dengan karakter sosial dan ekonomi masyarakatnya.
Di tengah derasnya arus urbanisasi, Depok juga harus memikirkan kembali makna “kota layak huni.” Layak huni bukan sekadar tersedianya hunian vertikal atau akses transportasi, tetapi bagaimana kota menyediakan lingkungan sosial yang aman, ramah, dan saling peduli. Tingginya angka individualisme, penurunan interaksi sosial, serta munculnya berbagai bentuk intoleransi dan kekerasan sosial menjadi alarm bahwa pembangunan manusia belum seimbang dengan pembangunan fisik. Maka, perlu ada kebijakan yang mendorong rekonsolidasi sosial: memperkuat nilai-nilai gotong royong, toleransi, dan kebersamaan dalam kehidupan warga kota.
Kehidupan budaya juga harus menjadi roh dari pembangunan Depok ke depan. Dalam sejarahnya, Depok dikenal sebagai kota yang melahirkan banyak tokoh pendidikan, cendekiawan, dan seniman. Potensi ini seharusnya menjadi dasar untuk membangun kota yang berkarakter dan kreatif. Pemerintah dapat mendorong program kebudayaan yang bersifat partisipatif, memberi ruang bagi seniman muda, komunitas literasi, dan pegiat budaya lokal untuk mengekspresikan diri. Festival budaya, ruang baca komunitas, teater rakyat, dan kegiatan seni jalanan bukan sekadar hiburan, melainkan sarana membangun identitas dan solidaritas sosial warga. Dari situ, peradaban kota akan menemukan nadinya—karena kota yang berbudaya adalah kota yang mampu merayakan keberagaman dan menumbuhkan rasa saling menghargai.
Sementara itu, sektor pendidikan harus menjadi jantung dari seluruh proses pembangunan. Dengan keberadaan kampus besar dan ribuan pelajar di setiap jenjang, Depok sesungguhnya memiliki kekuatan pengetahuan yang bisa menjadi fondasi bagi inovasi sosial. Pemerintah perlu membangun ekosistem yang menghubungkan dunia pendidikan dengan dunia kebijakan dan industri lokal. Mahasiswa dan akademisi tidak boleh hanya menjadi pengamat, tetapi turut dilibatkan dalam riset kebijakan, perencanaan kota, serta pemberdayaan masyarakat. Inilah bentuk nyata dari kota belajar (learning city), di mana pengetahuan bukan hanya dikurung di ruang kelas, tetapi hidup dan bekerja untuk kesejahteraan publik.
Baca Juga: Mengenal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Kegiatan Membangun Sendiri
Arah pembangunan Depok yang berorientasi peradaban juga memerlukan keberanian politik untuk menolak praktik pembangunan yang instan dan transaksional. Dalam banyak kasus, pembangunan kota sering kali dikendalikan oleh logika proyek—di mana ukuran keberhasilan diukur dari serapan anggaran, bukan dari dampak sosial. Padahal, pembangunan sejati adalah proses panjang yang berakar pada nilai, kesabaran, dan keberlanjutan. Pemimpin Depok di masa depan perlu memahami bahwa membangun kota bukan hanya soal membangun sekarang, tetapi juga soal menjamin kehidupan esok. Ia harus memiliki visi yang melampaui masa jabatan dan keberanian untuk menata prioritas berdasarkan kepentingan jangka panjang warga, bukan kepentingan jangka pendek politik.
Menata ulang arah pembangunan Depok berarti mengembalikan esensi kota kepada manusianya. Kota yang baik bukan yang paling cepat tumbuh, tetapi yang paling mampu memanusiakan penghuninya. Depok, dengan sejarah, posisi strategis, dan potensi sumber daya manusianya, memiliki kesempatan besar untuk menjadi kota peradaban yang sejati—kota yang tak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga tempat tumbuhnya nilai, dialog, dan kemajuan. Dari Depok, Indonesia bisa belajar bahwa membangun kota bukan tentang memperbanyak gedung, melainkan tentang menumbuhkan kehidupan. Dan di sanalah, sejatinya, peradaban dimulai. ***
Oleh : Chikal Akmalul Fauzi
Ketua Umum PC IMM Kota Depok
Artikel Terkait
Revitalisasi Sekolah sebagai Upaya Pemerintah Memberikan Layanan Pendidikan Bermutu untuk Semua
Meningkatkan Ketahanan Pangan Desa Cipambuan Lewat Sirkular Ekonomi
Menembus Pasar Internasional dengan Produk Daur Ulang
Dosen UPNVJ Tingkatkan Kesehatan Santri dengan Pengukuran Status Gizi dan Edukasi Diabetes
Ketika Etika dan Teknologi Bertemu : Arah Baru Jurnalisme Indonesia
SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan Beda Tahun Buku di Coretax
Mengenal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Kegiatan Membangun Sendiri